Sabtu, 11 September 2021

Human's Intelligen

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecerdasan dalam bahasa Inggris sama dengan Intelligence. Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan IQ, EQ, AQ, dan SQ pada otak?

2. Apa yang dimaksud dengan modalitas belajar?

3. Apa yang dimaksud dengan gaya berpikir?

4. Bagaimana dominasi otak pada manusia?

5. Apa yang dimaksud dengan Kecerdasan ganda?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu IQ, EQ, AQ, dan SQ pada otak

2. Untuk mengetahui apa itu modalitas belajar

3. Untuk mengetahui apa itu gaya berpikir

4. Untuk mengetahui dominasi otak pada manusia

5. Untuk mengetahui apa itu kecerdasan ganda


BAB II

PEMBAHASAN

A. IQ, EQ, AQ dan SQ pada Otak

Intellegent Qoutient (IQ)

Kecerdasan dalam bahasa Inggris sama dengan Intelligence. Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.  IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional.

Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)

Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa “kata emosi secara sederhana bisa didefinisikan sebagai menetepkan ‘gerakan’ baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaaan”. Dalam makna paling harfiah, Goleman mengambil definisi dari Oxford English Dictionary bahwa emosi adalah “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. 

Ada beberapa definisi kecerdasan emosional atau EQ (Emotional Quotient), diantaranya:

Menurut Salovey dan Mayer yang dikutip oleh Muhammad Yasin, mengatakan bahwa: Emotional Quotient merupakan himpunan bagian dari kecerdasan social yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Menurut Dvis seperti yang dikutip dari Satiadarma oleh Nur Efendi menjelaskan pengertian Emotional Quotient adalah “kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta berperilaku seseorang”.

Menurut Stein dan Book yang dikutip oleh Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa: EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit, mencakup aspek pribadi, social, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari.

 Menurut Yusuf Musthofa kecerdasan emosional adalah “kemampuan seseorang dalam mengendalikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap yang didasarkan pada pikiran yang sehat”.

Sedangkan menurut Daniel Goleman, kecerdaan emosional (Emotional Quotient) atau EQ merupakan “kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.

Berangkat dari berbagai definisi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan seseorang dalam mengenali dan memotivasi diri sendiri, mengelola dan mengendalikan emosi, membimbing pikiran dan tindakan dengan baik dalam hubungannya dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

Adversity Quotient (AQ)

Istilah Adversity Quotient diambil dari konsep yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz, Ph.D, presiden PEAK Leraning, Inc. Seorang konsultan di dunia kerja dan pendidikan berbasis skill (Stoltz, 2000). Konsep kecerdasan (IQ dan EQ) telah ada saat ini dianggap belum cukup untuk menjadi modal seseorang menuju kesuksesan, oleh karena itu Stoltz kemudian mengembangkan sebuah konsep mengenai kecerdasan adversity. Adversity dalam kamus bahasa Inggris berarti kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan quotient diartikan sebagai kemampuan atau kecerdasan. Sedangkan menurut Stoltz, Adversity Quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan (Stoltz, 2000).

Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Sebelum memahami tentang kecerdasan spiritual, perlu dejelaskan terlebih dulu mengenai arti kata spiritual itu sendiri. Dalam hal ini, Aliah B. Purwakania menjelaskan bahwa: Menurut kamus Webster kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memilikiki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.

Aliah B. Purwakania juga mengatakan bahwa “spirit merupakan diri yang sesungguhnya di dalam diri manusia yang telah ada sebelum kelahiran”. Dengan demikian, “sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia”. Adapun mengenai pengertian kecerdasan spiritual, Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual seperti yang dikutip oleh Ary Ginanjar adalah “kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam kontekas makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”.


B. Modalitas Belajar

Dari semua indera, yang paling aktif hanya tiga, yaitu: Visual system, auditory system, dan haptic system atau lebih dikenal sebagai kinestetik system. De Porter dan Hernacki percaya bahwa dari ketiga jenis indera inilah gaya belajar seseorang dibentuk. Modalitas belajar menunjuk pada indera mana yang paling efektif dalam proses belajar seseorang dalam memahami dunia sekitar. Ketiga-tiganya akan dikembangkan oleh setiap manusia, namun biasanya akan ada satu indera yang paling dominan dibandingkan yang lain. Indera dominan tadi yang menentukan cara belajar yang paling efektif. 

Visual System

Orang dengan modalitas visual yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera mata. Dalam bentuk gambar, tulisan, atau apapun media yang terlihat. Ketika berimajinasi, lebih mudah membayangkan bentuk dibandingkan modalitas lain.

Auditory System

Orang dengan modalitas auditory yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera telinga. Dalam bentuk suara, musik atau sejenisnya.

Kinestetik System

Orang dengan modalitas kinestetik yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera kulit. Dalam bentuk rabaan, percobaan langsung, gerakan, dan sejenisnya. Ketika berimajinasi, lebih mudah membayangkan interaksi fisik dibandingkan modalitas yang lain. 


C. Gaya Berpikir

Pada dasarnya gaya berpikir (Style of Thinking) hanya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu auditory learner dan visual learner. Auditory learner adalah gaya berpikir yang lebih didasarkan pada pemrosesan informasi melalui pendengaran (auditory). Visual learner adalah lebih didasarkan pada pemrosesan melalui penglihatan (visual). Pada anak-anak cerdas istimewa digunakan istilah visual spatial learner, yang artinya bahwa seorang anak cerdas istimewa melakukan pemrosesan informasi bukan hanya melalui penglihatannya saja, namun ia juga menggunakan kekuatan lain yang ada padanya, yaitu kemampuan pandang ruang yang tinggi (kemampuan dimensi) yang disebut sebagai kemampuan spatial.

Cara Berpikir Auditory Learner VS Visual Spatial Learner

Saat anak baru dilahirkan ia akan menjadi anak yang lebih kepada visual learner daripada auditory learner. Pada saat baru dilahirkan ia lebih didominasi oleh belahan otak sebelah kanan. Ia belajar menerima informasi lebih secara visual. Apa yang diterima secara visual (penglihatan) ini kemudian dilakukan pemrosesan di dalam otak sebagai sebuah informasi. Kelak saat mana anak-anak ini sudah bisa berbicara dengan baik, yaitu sekitar usia 5 – 6 tahun, maka cara penerimaan itu akan berubah, ia menjadi anak yang lebih pada auditory learner. Perubahan ini adalah sebagai akibat dari berubahnya dominasi otak, yang semula dominasi lebih kepada dominasi belahan otak kanan (yang mengatur kemampuan visual), kini dominasi berpindah ke belahan otak yang mengatur auditory (pendengaran).

Kekuatan Auditory  Learner VS  Kekuatan Visual Learner

Anak-anak yang auditory learner akan lebih baik menerima informasi melalui bentuk suara. Misalnya dalam pemberian pelajaran di kelas, anak-anak yang auditory learner ini justru akan menangkap sangat baik saat mana guru menjelaskan secara verbal. Sementara itu anak-anak visual learner akan lebih baik menerima informasi melalui penyajian visual, seperti gambar-gambar, film, grafik, denah, tabel, peta, dan sebagainya.  

Kesadaran akan Waktu VS Kesadaran akan Ruang 

Manajemen waktu, seperti jam berapa harus bangun, mandi berpakaian, makan, gosok gigi, berangkat sekolah secara tepat waktu adalah suatu manajemen yang nyaman bagi anak-anak auditory learner. Sebaliknya anak-anak visual spatial learner lebih kuat dalam kesadaran akan ruang. Anak-anak ini sangat kuat ingatannya akan tata ruang, lingkungan, peta, dan tidak mudah tersasar di tempat keramaian. Bahkan ia sangat kuat mengingat tempat-tempat yang pernah dikunjunginya

Detail  VS  Gambaran Global 

Seorang anak auditory learner adalah seseorang yang kuat dalam kemampuan melihat secara detail, lalu menyusunnya secara teratur. Karena itu anak-anak ini akan berprestasi dengan baik saat menempuh pelajaran. Ia bisa melihat secara detail jadwal atau skedul pelajaran, dapat mengikuti urutan waktu, dapat mendengarkan dan menerima perintah verbal secara baik, dan dapat menyampaikan/memproduksi kembali apa yang diterimanya.  

Perintah secara Verbal  VS  Memberikan Bentuk Gambar 

Kedua kelompok, antara anak-anak auditory learner dan visual spatial learner, mempunyai cara penerimaan pembelajaran yang sungguh berbeda. Bila anak-anak auditory learner sangat senang mendengarkan penjelasan secara verbal, dan juga mudah menangkap pemahamannya, maka pada anak visual spatial learner akan lebih mudah jika mendapatkan penjelasan dan perintah dalam bentuk gambar.  .

Komputasi VS Pemecahan Masalah dalam Matematika

Seorang anak auditory learner akan lebih mudah menerima pelajaran yang tahap pertahap, dari yang mudah ke yang sulit. Dengan demikian, pada pelajaran-pelajaran matematika ia akan lebih mudah mempelajari yang mempunyai tahapan jelas dan bersifat komputasi, misalnya aritmatika dan aljabar. Namun pada ilmu matematika tinggi yang membutuhkan kemampuan pandang ruang, akan sulit diikuti oleh kelompok anak auditory learner.

Handal dalam Mengucapkan Kata-kata VS Kesulitan Mengeja 

Anak-anak auditory learner adalah anak-anak yang sangat handal dalam berkemampuan pencandraan auditif (pendengaran), sehingga ia akan dengan mudah mengeja kembali katakata yang diucapkan guru. Ia akan sangat berprestasi dalam pelajaran imla/dikte. Sebaliknya anak-anak visual spatial learner akan sangat kesulitan dalam pelajaran imla/dikte, terlebih pada kata-kata yang abstrak tidak ada bentuknya jika dibayangkan. 

Pintar Mengulang Hapalan VS Mendahulukan Berpikir Konsep Melihat Hubungan 

Seorang anak visual spatial learner merupakan anak yang mendahulukan cara berpikir konsep, hubungan, sebab-akibat, melakukan pemecahan masalah, dan mencari solusinya. Ia akan mengalami kesulitan pada pelajaran-pelajaran yang lebih kepada mendahulukan kemampuan hapalan, dan mengulangnya kembali. Sebaliknya seorang anak auditory learner lebih mudah menghapal urutan-urutan angka, tahapan-tahapan pekerjaan, dan sangat handal mendengarkan penjelasan verbal serta mengulangnya kembali.  

 Auditory Short-Term Memory VS Visual Long-Term Memory

Masuknya informasi ke dalam otak, mempunyai dua jalan. Pertama melalui jalur pendengaran, dan yang kedua adalah melalui jalur penglihatan. Pada anak-anak auditory learner jalur informasi yang digunakan adalah jalur pendengaran. Informasi ini akan masuk ke meori jangka pendek (short term memory). Sedangkan anak-anak visual spatial learner jika dengan cara ini, ia selain merasa kesulitan, terlalu lelah, baginya menjemukan, data yang disimpan dalam memory jangka pendek itu juga tidak akan bertahan lama. Ia cepat kembali lupa lagi. 

Pengulangan-pengulangan dan Drilling VS Gambaran Permanen 

Cara seorang anak belajar, awalnya adalah memang melalui mengetahui sesuatu, lalu menginat hal sesuatu, dan kemudian dapat menyebutkannya kembali. Tahap selanjutnya adalah apa yang sudah diketahuinya itu dapat diaplikasikan untuk kepentingan tertentu sesuai dengan konteksnya. Namun untuk anak-anak visual spatial learner yang memang mempunyai kelemahan dalam memori jangka pendek, ia akan mengalami kesulitan dan kelelahan yang menyebabkan dirinya mengalami tekanan, yangberakibat adalah justru ia tidak bisa lagi melakukan kegiatan menghapal tersebut.

Belajar dari Instruksi VS Membangun Cara-caranya Sendiri

Seorang anak visual spatial learner adalah anak yang sangat sulit untuk didikte atau diperintah. Ia belajar akan sesuatu dari berdasarkan hasil uji-cobanya. Ia adalah seorang anak yang penuh kreativitas dalam mencari upaya pemecahan masalah. Berbeda dengan anak auditory learner, yang akan dengan tertib mendengarkan bagaimana cara kerja mainan barunya. Secara bertahap ia akan mengikuti cara pemakaian atau cara bermain yang ia pelajari dari instruksi yang diberikan. Anak-anak auditory learner  dalam hal ini adalah anak yang menyenangkan karena selalu menurut dan mengikuti instruksi serta peraturan.  

Berpikir Konvergen VS Berpikir Divergen 

Berpikir konvergen adalah cara berpikir ke arah yang sempit atau ke arah mengecil. Dari global ke arah detail. Berpikir divergen adalah berpikir dari yang kecil ke arah yang luas. Dari yang detail ke arah yang global. Dua gaya berpikir ini, berpikir konvergen (auditory learner) dan berpikir divergen (visual spatial learner), adalah dua gaya berpikir yang sangat bertentangan. Apabila dalam suatu rapat, mayoritas populasi sesungguhnya adalah auditory learner, maka seseorang yang mempunyai gaya berpikir visual spatial learner ini akan sangat frustrasi. Karena populasi rapat justru hanya akan membicarakan hal-hal yang detil, kadang terjebak dalam pembicaraan yang detil itu.

Memisahkan antara Belajar dan Emosi VS Emosi Mempengaruhi Kegiatan Belajar

 Seorang anak auditory learner adalah seorang anak yang dapat melupakan sejenak kemarahannya jika ia harus belajar.  Ia dapat memisahkan antara waktu untuk berpikir mengerjakan tugas belajar dan memikirkan masalah yang membuatnya marah. Sedang anak visual spatial learner adalah anak-anak yang tidak bisa meninggalkan kemarahannya saat mana ia harus belajar. Sehingga situasi belajar akan diwarnai dengan situasi hatinya. 

Perbedaan ini disebabkan oleh faktor perkembangan dominasi belahan otak masing-masing. Anak-anak auditory learner yang memang didominasi oleh belahan otak kiri, ia akan dapat dengan mudah memisahkan antara emosi dan kegiatan belajar. Sedang anak-anak visual spatial learner, yang didominasi oleh belahan otak  kanan.


D. Dominasi Otak

Otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari dan melukis.

Sedangkan otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Bagian otak ini merupakan pengendali Intelligence Quotient (IQ). Daya ingat otak ini juga bersifat jangka pendek. Dominasi otak berarti tidak sepenuhnya bahwa kita akan hanya menggunakan salah satu otak kita secara keseluruhan, karena belahan otak kita saling bersinergi satu sama lain, meskipun berbeda fungsinya.

Cara sederhana untuk mengetahui dominasi otak yang sering berperan dalam otak kita bisa dengan cara:

Kita ambil selembar kertas dan buat lubang kecil saja (sebesar uang koin). Setelah itu kita melihat suatu objek (bisa melihat salah satu tombol keyboard, nomor di kalender atau sebagainya, yang intinya objek tersebut tidak terlalu besar ukurannya). Setelah itu coba anda lihat objek yang anda tentukan tadi melalui lubang kertas dengan menutup mata secara bergantian. Bila anda dapat melihat objek tersebut dengan mata sebelah kiri, maka anda lebih dominan menggunakan otak kanan, demikian sebaliknya.

Seseorang yang dominan belahan kiri, biasanya akan :

Memilih sesuatu yang berurutan

Belajar lebih baik dari bagian-bagian kemudian keseluruhan

Lebih memilih sistem membaca fonetik

Menyukai kata-kata simbol dan huruf

Lebih memilih instruksi yang berurutan secara detail

Menginginkan struktur dan prediksi

Seseorang yang dominan belahan kanan biasanya akan:

Merasa lebih nyaman dengan sesuatu yang acak

Paling baik belajar dari keseluruhan kemudian bagian-bagian

Menyukai gambar, grafik, dan diagram

Mau berbagi informasi tentang hubungan antara segala sesuatu

Menginginkan pendekatan yang tak terbatas, baru dan mengejutkan.


E. Kecerdasan Ganda

Multiple intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang efektif atau bernilai dalam satu latar belakang budaya tertentu. Artinya, setiap orang jika dihadapkan pada satu masalah, ia memiliki sejumlah kemampua untuk memecahkan masalah yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Menurut Gardner kecerdasan atau intelegensi ada sepuluh macam, diantaranya:

Kecerdasan linguistic (Linguistic Intelligence)

Adalah kemampuan untuk untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang komplek, yang meliputi kemampuan membaca, mendengar, menulis, dan berbicara.

Intelegensi logis-matematis (Logical matematich)

Adalah kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematika.

Intelegensi musik (Musical Intelligence)

Adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan sensitivitas pada pola titk nada, melodi, ritme, dan nada.

Intelegensi kinestetik

Adalah belajar melalui tindakan dan pengalaman melalui panca indera. Intelegensi kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh 

atau pikiran untuk menyempurnakan pementasan fisik.

Intelegensi visual-spasial

Merupakan kemampuan yang memungkinkan memvisualisasikan informasi dan mensitesis data-data dan konsep-konsep ke dalam metavor visual.

Intelegensi interpersonal

Adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain dilihat dari perbedaan, temperamen, motivasi dan kemampuan.

Intelegensi intrapersonal

Adalah kemampuan sesorang untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan dan sistem emosionalyang muncul secara nyata pada pekerjaannya. 

Intelegensi naturalis

Adalah kemampuan untuk mengenal flora dan fauna, melakukan pemilahan-pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara produktif.

 Intelegensi emosional

Adalah yang dapat membuat orang bisa mengingat, memperhatikan, belajar dan membuat keputusan yang jernih tanpa keterlibatan emosi.

Intelegensi spiritual

Adalah kemampuan yang berhubungan dengan pengakuan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.


BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar.

Otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari dan melukis. Sedangkan otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Bagian otak ini merupakan pengendali Intelligence Quotient (IQ). Daya ingat otak ini juga bersifat jangka pendek.


B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, dan kami menyadari masih banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini. Demi kebenaran makalah ini kami memohon saran kepada rekan-rekan mahasiswa dan khususnya kepada dosen. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua, khususnya penulis.


DAFTAR PUSTAKA

Academia.edu makalah multiple intelegensi from: www.academia.edu/makalah-multiple-intelegensi diakses pada: 08 Mei 2018

Muslimin, Nur. Pendidikan Agama Islam Berbasis IQ, EQ, SQ dan CQ from: http://ejournal.kopertiais4.or.id diakses pada 08 Mei 2018

Ryulycos. Gaya berpikir From: http://ryulycos.file.wordpress.com/2011/02/gaya-berpikir.pdf diakses pada: 08 Mei 2018

Sultoni, M. Adversity Quotient from: http://etheses.uin-malang.ac.id diakses pada 05 Mei 2018

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...