Senin, 20 Juli 2020

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

By: Nurul Aulia Fitra

Peran wanita di sektor Usaha Kecil dan Menengah umumnya terkait dengan bidang perdagangan dan industri pengolahan seperti: warung makan, toko kecil, pengolahan makanan dan industri kerajinan, karena usaha ini dapat dilakukan di rumah sehingga tidak melupakan peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Meskipun awalnya Usaha Kecil dan Menengah yang dilakukan wanita lebih banyak sebagai pekerjaan sampingan umtuk membantu suami dan untuk menambah pendapatan rumah tangga, tetapi dapat menjadi sumber pendapatan rumah tangga utama apabila dikelola secara sungguh-sungguh (Priminingtyas, 2010; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Provinsi Sumatera Barat telah memiliki beberapa dokumen dan profil industri menurut cabang industri yang ada. Menurut database pendataan industri kecil dan menengah tahun 2009 terdapat di dalamnya beberapa cabang industri yang merupakan subsektor dalam klasifikasi sektor industri kreatif. Industri tersebut telah digolongkan menurut KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Industri) oleh Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Barat: industri bordir/ sulaman (Kode KBLI 17293) dan Pertenunan (Kode KBLI 17114). Kedua cabang industri tersebut termasuk dalam sektor industri kreatif yaitu kerajinan. Mengingat saat ini dunia industri telah berada pada era ekonomi gelombang ke empat untuk itu sangat diperlukan perumusan strategi pengembangan yang tepat agar industri kreatif potensial yang dapat bergeliat dalam era ekonomi kreatif gelombang keempat pada masa sekarang ini (Pusparini, 2011; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Bordir/ sulaman dan pertenunan merupakan bagian dari seni budaya yang dilahirkan secara turun temurun dalam masyarakat daerah Sumatera Barat, khususnya daerah Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bukittinggi. Salah satu wilayah di Minang Kabau tepatnya di Jorong Tanjung Modang, Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang juga dikenal dengan nama Kampung Tenun Lintau. Kerajinan tenun tersebut bernama Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai. Awalnya, usaha kerajinan tenun tersebut merupakan usaha keluarga sejak 10 tahun lalu atau lebih, lalu seiring berjalannya waktu, ada teman-teman yang tertarik untuk bergabung membuat kerajinan tenun tersebut, sehingga terbentuk lah ide untuk membuat kelompok kerajinan tenun pada tahun 2013 dan Alhamdulillah masih aktif sampai sekarang. Kerajinan tenun merupakan kerajina yang menggunakan teknik membuat struktur dengan cara menyilangkan benang pakan dan benang lungsi/ lusi. 
Kenapa dinamakan dengan Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai?
Nama unik tersebut merupakan ide dari tujuh orang pencetus pendiri kelompok kerajinan tenun. Mereka berpikir bahwa kehidupan manusia ibaratnya berjalan di atas sehelai benang, kita sebagai seorang manusia bagai menjalani kehidupan di atas sehelai benang dalam kehidupan sehari-sehari. Batenggang artinya tempat kita bertenggang mencari kehidupan, di situ lah kita hidup. Jadi dinamakan lah kelompok tenun ini dengan kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai ini diketuai oleh Ibu Dewi. Beliau berusia 40 tahun dan berperan sebagai seorang ibu untuk kedua anaknya. Di awal terbentuknya kelompok kerajinan tenun ini, mereka membuat SK (Surat Keputusan) lalu mereka menapatkan bantuan modal dari PNPM sebesar Rp. 104.000.000,- (Seratus Empat Juta Rupiah). Lalu pada tahun 2016, kelompok kerajinan tenun ini mendapat bantuan dana dari bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) untuk membuat gerbang nama pengenal kelompok tenun mereka, tujuannya dibuat gerbang dengan nama Kampung Tenun Lintau yang merupakan sebagai pengenal atau pemberitahuan kepada orang-orang bahwa di daerah atau di jorong tersebut masih dapat ditemukan budaya lokal tentang kerajinan tenun yang diproduksi sendiri secara manual oleh ibu-ibu di lokasi tersebut, serta memudahkan orang-orang untuk menemukan lokasi tempat kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Di awal terbentuk kelompok kerajinan ini, setelah di SK kan, mereka memiliki anggota sebanyak 25 orang, namun sampai saat ini anggota kelompok kerajinan tenun yang masih aktif hanya sekitar 11 orang saja. Hasil kerajinan tenun yang diproduksi di tempat ini adalah songket dan dasar baju. Untuk pengerjaan satu pasang songket memerlukan waktu 20 hari sampai 30 hari, yang dikerjakan oleh satu orang. Sedangkan untuk satu stel dasar baju memakan waktu pengerjaan selama tujuh sampai 10 hari oleh satu orang pekerja. 
Dalam sekali pengerjaan, biaya untuk satu pasang songket adalah bervariasi, biasanya Rp. 1.200.000,- (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) atau Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Sedangkan omset yang didapat oleh satu orang untuk satu pasang tenun selama satu bulan adalah sebanyak Rp. 2000.000,- (Dua Juta Rupiah) sampai Rp. 2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Lalu omset sebulan yang didapat oleh kelompok ini adalah sekitar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). 
Kesulitan yang ditemukan dalam kerajinan tenun ini oleh kelompok tenun batenggang di Banang Sahalai adalah pada pemasaran dan pemodalan, kadang-kadang dalam satu bulan, hasil tenunan dari kelompok tenun ini terjual sebanyak dua atau tiga pasang, atau bahkan nol atau tidak ada sama sekali, dikarenakan pemasaran produk yang belum pasti. Melihat penjualan produk yang belum pasti setiap bulannya, ibu Dewi dan teman-temannya berinisiatif untuk menyimpan dana (safety) supaya nanti ke depannya jika tidak ada terjual dalam sebulan itu, mereka dapat menggunakan uang yang tersimpan tersebut dijadikan modal untuk membeli bahan-bahan pembuatan songket dan dasar baju. 
Dalam pembelian alat-alat pembuatan songket dan dasar baju, kelompok tenun ini mendapatkan bantuan dana dari PNPM dan BRI, namun untuk bahan-bahannya, seperti benang merupakan modal sendiri dari anggota kelompok kerajinan tenun. Alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan songket tersebut adalah (Murnayati, dalam Devi, 2015):
Suri, yaitu kawat yang agak kasar dan kuat disusun rapat, alat ini tergantung pada tali karok. Pada setiap benang yang terentang di alat tenun akan melalui susunan kawat ini satu persatu.
Karok, yaitu alat yang mirip dengan suri hanya saja terbuat dari benang nilon. setiap benang terentang untuk disusun harus melalui karok ini. Karok terdiri dari dua macam, yakni sebagai pengatur benang lungsi yang di bawah dan pengatur benang lungsi yang di atas.
Palantah atau panta, yaitu sebuah tempat duduk bagi penenun yang terbuat dari kayu menyerupai bangku Panjang. Kata panta berasal dari kata palanta yang berarti balai tempat duduk.
Paso, yaitu alat penggulung kain yang telah ditenun akan tetapi belum dipotong dari benang pembuat dasar kain, paso ini berbentuk bulat Panjang yang terbuat dari kayu.
Penggulung benang yaitu kayu berbentuk bulat dan memanjang di depan alat tenun, berfungsi sebagai penggulung benang yang terentang untuk ditenun.
Arang babi, yaitu sebagai penyangga penggulung benang yang belum ditenun
Kaminggang, alat berupa penyangga palantah dan bersambungan dengan arang babi
Tijak-tijak, alat yang cara penggunaannya diinjak oleh kaki si penenun, berfungsi untuk merapatkan atau mengencangkan helai-helai benang ketika membuat motif.
Atua kawa, yaitu tempat masuknya karok
Kudo-kudo, adalah alat yang digunakan untuk mengikatkan karok guna mempermudah proses menarik turunkan benang.
Tandayan, adalah tali karok
Langan-langan, yakni tempat bergantungnya tali karok dan tali suri yang terbuat dari kayu.
Pakan yaitu benang yang terentang pada alat tenun yang menjadi dasar dari kain songket.
Tughak atau turak adalah alat yang terbuat dari sepotong bambu yang dipotong dan diberi lubang ditengahnya, sebagai alat bantu untuk memindahkan benang dari sisi sat uke sisi lainnya.
Pancukia, alat yang digunakan untuk mengatur motif
Palapah alat yang tebuat dari bambu yang salah satu ujungnya diruncingkan. Berfungsi untuk menyangggah kain yang telah dijungkit, kemudian dimasukkan lidi sebelum disanggah yang sesuai dengan motif yang dibentuk.
Sangka, penyangga kain yang sudah ditenun, terletak di bawah paso
Lidi, alat yang berfungsi untuk membuat dan mengatur motif
Kasali, berfungsi sebagai penggulung benang pembuat motif dan benang tambahan yang selanjutnya dimasukkan ke dalam turak
Sedangkan untuk bahan-bahannya adalah benang lungsi/ lusi (bahan dasar), benang tersebut ukuran satuannya disebut palu. Sedangkan hiasannya (songket) berupa benang ameh (emas) yang menggunakan benang Makao atau benang India. Wah, nama alatnya unik-unik ya.
Hal yang pertama dilakukan sebelum menenun adalah menentukan warna, lalu menentukan motif, dan terakhir langsung pengerjaan. Sedangkan Christyawaty dan Ernatip (dalam Devi, 2015) membagi proses pembuatan tenun menjadi tiga tahap, yakni tahap persiapan yaitu menyiapkan seluruh benang yang akan digunakan sesuai dengan motif yang akan dibuat, tahap pengerjaan sampai pada tahap terakhir yakni tahap penyelesaian. Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5-10 cm. Dalam pemeliharaan kain songket tidak boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang emas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi dan bertahan lama.

(gambar alat-alat penenunan)

Untuk peminat dalam pembelian hasil produksi kerajinan tenunan ini, pada umumnya adalah pasangan yang telah menikah atau berkeluarga. Hasil produk tenunan ini di jual di dalam kota, luar kota, seperti ke Jakarta, dan pernah ke luar negeri. Seperti dibeli sebagai cendera mata oleh orang untuk ke Jepang, serta pernah juga turis yang datang ke kampung tenun Batenggang di Banang Sahalai untuk membeli songket dan dijadikan oleh-oleh untuk di bawa pulang.
Dalam pembuatan songket atau pun dasar baju, terkadang ibu Dewi dan teman-temannya merasa jenuh atau bosan juga dalam pengerjaannya, ketika rasa bosan dan jenuh itu datang, mereka mengatasinya dengan cara istirahat atau berhenti sebentar untuk merefreshkan pikiran, jika telah relaks dan tenang, baru memulai kembali pengerjaaan songket atau pun dasar baju. 
Harapan dari ibu Dewi selaku ketua kelompok kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai yaitu kelompok tenun ini semakin maju dan lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat tentang pemasarannya serta pengadaan pelatihan-pelatihan atau swadaya manusia, misalnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kreativitas kelompok tenun. Selama ini, jika mereka ingin ikut pelatihan-pelatihan tentang tenunan, mereka harus pergi keluar dulu, baru bisa ikut pelatihan. Dan semoga saja pemerintah daerah setempat lebih memperhatikan kelompok tenun ini, karena dengan begitu kelompok tenun ini tetap dapat bertahan dan semakin dikenal oleh masyarakat yang lebih luas lagi.
Hasil-hasil songket dari kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Devi, S. (2015). Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Vol. 2 No. 1, 24-25.

Hendrawati, & Ermayanti. (2016). Wanita Perajin Tenun Tradisional di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, Vol. 18 no. 2, 69-71.

#KKNIAINBATUSANGKAR2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

4 komentar:

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...