Minggu, 12 Juli 2020

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi Covid 19

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi COVID-19
By: Nurul Aulia Fitra


Pada saat ini, dunia sedang dilanda oleh wabah penyakit yang disebabkan oleh menyebarnya virus Corona atau Corona Virus Disease (COVID-19). Hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada psikologis masing-masing individu. Pemberitaan mengenai meningkatnya jumlah penderita COVID-19, bisa memiliki dampak serius seperti timbulnya perasaan tertekan, stress, panik, paranoid, dan cemas (anxiety) di kalangan masyarakat. Menurut salah seorang dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rini Setyowati (dalam Galamedianews.com) mengatakan bahwa “Pemberitaan yang simpang siur atau kurang tepat, dapat memicu stress yang dapat mempengaruhi hormom stress. Sehingga mengakibatkan system imun seseorang menurun dan rentan tertular COVID-19”.
Virus Corona atau COVID-19 yang terus merebak di dunia termasuk di Indonesia, tidak hanya menimbulkan gejala penyakit fisik saja, tetapi juga perlu diwaspadai dampak psikologisnya, baik pada penderita maupun masyarakat luas. Bagi penderita, dampak psikologisnya bisa berupa perasaan tertekan, stress, cemas atau khawatir secara berlebihan, ketika privasinya atau identitasnya diketahui public sehingga berdampak pada diasingkan oleh lingkungan sekitarnya. Akibatnya, reaksi yang timbul bagi penderita yaitu tidak jujur dengan riwayat penyakitnya. Tidak ingin menyampaikan kepada tenaga medis ia melakukan perjalanan kemana sebelumnya dan apakah pernah kontak dengan penderita COVID-19. Selain itu reaksinya juga bisa penderita merasa cemas atau khawatir dengan hasil tes yang lama keluar setelah perawatan medis.
Reaksi masyarakat terhadap penyebaran COVID-19 yang meluas juga bisa berupa proteksi secara berlebihan terhadap diri sendiri maupun keluarganya. Contohnya, mencuci tangan berulang kali, membersihkan rumah dan lingkungan secara terus-menerus. Hal ini dapat menimbulkan gejala obsesif-compulsif, yaitu gangguan mental yang menyebabkan penderita harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang. Jika tidak dilakukan, individu tersebut akan terus diliputi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. 
Terdapat dua macam coping dalam mengantisipasi dampak psikologis terhadap COVID-19, yaitu: 1) coping adaptif, yaitu cara mengatasi masalah yang adaptif baik penderita maupun masyarakat luas. Perasaan khawatir, tertekan, dan cemas, jika diolah secara tepat bisa mengarahkan individu kepada reaksi melindungi diri dengan tepat dan meningkatkan religiusitas individu. Coping inilah yang sangat penting dilakukan oleh setiap individu. 2) coping maladaptive, yaitu kebalikan dari coping adaptif, yang mana strategi coping-nya dapat mengakibatkan individu mengalami distress, cemas, gejala obsesif kompulsif atau permasalahan psikologis lainnya (dalam galamedianews.com).
Kondisi ini juga dapat menimbulkan panic buying, merupakan mekanisme psikologis ketika menghadapi ketakutan dan ketidakpastian atau sebuah fenomena yang terjadi dalam krisis yang dapat meingkatkan harga-harga dan mengambil barang-baarang penting dari tangan orang-orang yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan, seperti masker wajah dan mulut untuk para tenaga kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan mempercayai bahwa peristiwa dramatis memerlukan tanggapan yang dramatis pula, yang mana dalam kasus ini tanggapan terbaik sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja, seperti mencuci tangan (dalam BBC News Indonesia). 
Di sini lah peran Psikologi klinis atau praktisi-praktisi psikologi klinis diperlukan, yang mana mereka dapat mendukung kesejahteraan mental banyak pihak, diantaranya:
Pasien yang telah dinyatakan positif COVID-19 dan keluarga, yang ada di ruang UGD dan isolasi.
ODP yang dikarantina
PDP yang di isolasi dan keluarga
Tenaga medis dan kesehatan
Pemerintah,
Pelajar yang belajar dengan sistem daring 
Perantau yang jauh dari keluarga
Masyarakat di wilayah yang terpapar, dan
Masyarakat yang sehat.
Psikolog klinis dapat memberikan sesi konseling kepada semua lapisan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Paraktisi-praktisi psikologi klinis dapat juga membuat konten tentang relaksasi ataupun cara-cara untuk tetap tenang di tengah wabah virus Corona, lalu mengunggahnya di berbagai media social. Psikolog klinis juga bisa membantu masyarakat luas dengan cara melakukan sesi konseling menggunakan media social, seperti di Instagram, WhatsApp, Telegram, dll. Hal ini dapat mengurangi kepanikan, kekhawatiran serta kecemasan yang dirasakan masyarakat di tengah wabah virus Corona ini, serta ditambah adanya physical distancing yang mengakibatkan individu yang biasanya banyak beraktivitas di luar rumah menjadi di dalam rumah, dan tentunya ini sangat mempengaruhi kesehatan mental individu. Sehingga kesehatan fisik dan mental harus tetap terjaga bagi semua masyarakat, siapapun itu tanpa terkecuali.
Dalam pelayanan kesehatan, psikolog klinis bisa berkolaborasi dengan tenaga kesehatan dalam memudahkan proses karantina pasien di ruangan isolasi sehingga pasien merasa terkuatkan dan tidak mengalami kondisi traumatis. Psikolog klinis harus berperan aktif di tengah masyarakat yang berusaha keras mempertahankan diri dan membutuhkan validasi optimisme. Sebab strategi-strategi dalam menghadapi pandemic dapat menyebabkan timbulnya berbagai efek psikologis dan perilaku tidak nyaman. Respon umum yang dapat terjadi misalnya, insomnia, kecemasan, takut akan terjangkit, keinginan berlebih untuk makan, pesimisme, dan merokok. Anak-anak dan remaja dapat menolak isolasi social dengan perilaku agresif yang dapat diartikan sebagai acting out. 
Hal ini sejalan dengan salah satu teori tentang perilaku, yaitu teori behaviorist. Teori ini mempelajari perilaku manusia. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Seseorang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Karena semua tingkah laku yang baik bermanfaat ataupun yang merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Jadi, behaviorisme sebenarnya adalah sebuah kelompok teori yang memiliki kesamaan dalam mencermati dan menelaah perilaku manusia yang menyebar di berbagai wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di daratan Inggris, Perancis, dan Rusia. Menurut Watson (dalam Amalia & Fadholi, 2019) stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable), mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak individu tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada individu. Hanya dengan demikian pula psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris. Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa hal itu penting. Jadi, dapat dilihat, setelah penyebaran COVID-19 ini banyak masyarakat yang telah mengubah kebiasaan buruknya menjadi lebih baik, seperti mencuci tangan dan tetap menjaga kebersihan. Hal ini tentunya terjadi karena proses belajar, manusia mengubah perilakunya menjadi ke arah yang lebih baik agar terhindar dari virus corona ini.
Di tengah kondisi yang bisa dikatakan tidak baik ini, sangat diperlukan kontribusi psikologi klinis dalam membantu pemerintah dan tenaga kesehatan dalam mengatasi wabah yang melanda Indonesia. Tidak hanya sehat fisik, sehat mental juga diperlukan, hal ini untuk menjaga system imun kita untuk tetap baik. Karena jika dalam situasi ini kita stress, cemas, khawatir, panik serta paranoid hal itu menandakan mental kita tidak sehat, yang dapat menyebabkan imunitas kita lemah, dan menjadi celah bagi virus Corona bisa masuk dan menyerang tubuh manusia. 
Dalam mengatasi wabah ini, pemerintah telah menghimbau dan megajak masyarakat untuk di rumah saja, dan keluar rumah untuk hal yang benar-benar urgent atau penting. Masyarakat melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, yang di kenal dengan istilah social distancing, namun istilah itu berubah menjadi psychally distancing, karena manusia tidak menjaga jarak dengan lingkungan social, tapi menjaga jarak antara diri individu dengan individu yang lain, yang mana aktivitas sehari-hari tetap dilakukan, tetapi di dalam rumah, yang dikenal dengan work from home (WFH). Di sini, pekerja dan pelajar bekerja dan belajar melalui sistem daring, misalnya melalui grup WhatsApp, e-Learning, Google Classroom, Skype, dan aplikasi lainnya.
Hal tersebut, tentu bukan hal yang mudah, memerlukan adaptasi yang tidak singkat. Oleh karena itu diperlukan kontribusi Psikolog klinis untuk mendorong atau memotivasi masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga kesehatan mentalnya, serta tetap mematuhi ajakan pemerintah. Kita tidak hanya melihat dari satu sisi saja, pasti ada hikmah atau dampak positif dari setiap kejadian ini, diantaranya:
Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah,
Mengjarkan Indonesia seberapa siap dengan system pembelajaran digital menyongsong digital society 5.0
Mengingatkan kita pentingnya menjaga kebersihan
Sebagai seorang muslim, tentunya dengan banyak menghabiskan waktu di rumah dapat menjadikan kita untuk lebih banyak waktu untuk beribadah, mendekatkan diri kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT.
Pemerintah juga mengajak masyarakat untuk tetap safety jika bepergian, yaitu menggunakan masker dan cuci tangan selama 20 detik, serta tidak memegang area wajah, seperti mata, hidung dan mulut sebelum cuci tangan. Di sini juga diperlukan kontrol supaya tidak membuat individu mengalami obsesif-compulsiv, dengan mencuci tanga berulang-ulang, karena merasa belum bersih. Jika tidak dipenuhi maka individu tersebut merasa ketakutan, cemas dan khawatir. 
Pemerintah juga telah menghimbau masyarakat Indonesia untuk berdiam diri di rumah, beribadah di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 detik dan tetap menghindar dari keramaian. Namun sangat disayangkan dengan masyarakat yang bebal dan tidak menghiraukan pemerintah. Masyarakat terutama anak-anak dan remaja banyak yang tetap keluar rumah, bahkan banyak para perantau yang pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tentunya ini memiliki dampak buruk bagi orang-orang di lingkungan sekitarnya. Karena di Indonesia sendiri, belum dilakukan tes secara massif, jadi kita tidak tahu apakah kita membawa virus itu atau tidak. Apalagi para perantau tersebut berada di daerah yang terpapar sebelumnya. Bahkan sampai saat ini, sudah ada seribu kasus lebih dan angka menuju seratus untuk kematian, sedangkan yang sembuh hanya setengah dari itu.
Tidak hanya itu, banyak juga para jamaah masjid yang ngeyel untuk tetap sholat berjamaah. Jika dalam keadaan normal itu sangat baik, namun dalam keadaan seperti ini tentu berdampak buruk. Hal ini dilakukan juga bukan untuk selamanya, sampai wabah ini berlalu. Akibatnya sekarang sudah ada tiga jamaah masjid yang positif, akibatnya 300 lebih jamaah di karantina di masjid tersebut. Bukankah Allah tidak akan menyulitkan hamba-hambanya. Sholat jamaah juga tetap bisa dilaksanakan di rumah, yang penting suara azan tetap berkumandang. Kita bisa belajar dari kisah-kisah terdahulu, seperti
Ketika perang Nabi tetap shalat berjamaah karena musuhnya kelihatan, dan sholatnya bergantian
Umar bin Khatab menghindar dari wabah penyakit Tho’un di Syam, dan berkata “Saya lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah yang lain”
Jaman Nabi juga pernah terjadi wabah tapi ciri-cinya kelihatan. Nabi bersabda “jangan dicampur yang sehat dengan yang sakit. Bahkan Nabi membaiat utusan Tsaqif tanpa berjabat tangan.
Dapat kita lihat bahwa, Allah tidaklah mempersulit hambanya, meskipun untuk sementara masjid kosong, namun Azan tetap berkumandang, dan ibadah kita tidak terhenti. Tentunya, sebagai seorang muslim, kita tidak hanya sekedar mengandalkan diri dengan usaha sendiri, tapi kita juga butuh doa. Kita butuh pertolongan Allah swt., yang membuat makhluk sekecil itu mampu memporak-porandakan jutaan manusia. Maka, Allah lebih mampu untuk meredam ini semua, menjadikannya kembali ke keadaan normal, dengan cara yang paling baik pula. 
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi COVID-19 ini tidak hanya tanggungjawab satu pihak saja, tapi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat harus mendengarkan himbauan pemerintah untuk tetap di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 deitk serta menghindari keramain, karena kita tidak tahu siapa yang sedang terinfeksi virus tersebut. Serta di Indonesia sendiri belum ada tes yang dilakukan secara massif. 
Oleh karena itu tetap jaga kebersihan dan jaga kesehatan mental untuk tetap tenang dan tidak panik. Kita juga harus sadar, bahwa kita memiliki kesempatan untuk berusaha melindungi diri kita sendiri, namun, tidak demikian dengan pelayan kesehatan atau tenaga kesehatan. Mereka harus menangani pasien dengan penyakit menular yang tentu sngat menimbulkan ketegangan dan mengguncang kesejahteraan mental. Dukungan moril yang berlandaskan empati bagi mereka sangatlah penting. Kita harus memberikan minimal sedikit saja perhatian kita kepada mereka yang sedang berjuang di garda terdepan melawan wabah COVID-19. Di sini tentunya kontribusi psikolug klinis sangat diperlukan, psikolog klinis dapat memberikan pelatihan-pelatihan ataupun memberikan sesi konseling kepada para tenaga medis agar mental nya tetap sehat. Agar mereka mampu menghadapi tekanan-tekanan yang datang kepada mereka. Psikolog klinis juga dapat mengajarkan mereka untuk tetap relaks dalam menghadapi kekisruhan di rumah sakit.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nahar, Novi Irawan. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran. Desember 2016. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol.1.

Robson, D. (2020, April 08). BBC News Indonesia. Retrieved from bbc.com: https://www.bbc.com 

Sundberg, Norman D dkk. (2007). Psikologi Klinis: Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sutanto. (2020, Maret 19). PT. Galamedia Bandung Perkasa. Retrieved from Galamedianews.com: https://www.galamedianews.com  


#KknIainBatusangkar2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

8 komentar:

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...