Minggu, 16 Januari 2022

Teori Psikologi tentang Kesehatan Mental

A. Perkembangan Kepribadian “Self” 

Bagaimana sebenarnya “diri“ individu berkembang? Rogers (dalam Baihaqi, 2008) mengilustrasikan  seperti ini: ketika individu masih kecil, sebagai anak-anak ia mulai membedakan atau memisahkan salah satu segi pengalamannya dari pengalaman yang lain. Segi ini adalah “diri“ dan itu digambarkan dengan bertambahnya penggunaan kata “aku” dan “kepunyaanku.” Anak itu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang menjadi milik atau bagian dari dirinya dan semua benda lain yang dilihat,  didengar, diraba, dan diciumnya ketika dia mulai membentuk suatu lukisan dan gambar tentang siapa dia. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu “pengertian-diri” atau self–concept

Sebagai bagian dari self-concept, anak itu juga mengambarkan dia akan menjadi siapa atau ingin menjadi siapa. Sering kali ketika anak di TK ditanya “nanti mau jadi apa?” mereka menjawab, “ingin menjadi presiden, ingin menjadi dokter atau ingin menjadi polisi.” Jawaban itu terbentuk dari pengamatan awal anak-anak atau sejumlah figur yang mereka tahu, apakah sosok presiden, dokter, atau polisi. Kemudian gambaran-gambaran itu berkembang, hal itu dibentuk sebagai suatu akibat dari bertambah kompleksnya interaksi dengan orang lain. 

Dengan mengamati reaksi dari orang-orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri, anak itu secara ideal mengembangkan suatu pola gambaran-gambaran diri yang konsisten, suatu keseluruhan yang terintegrasi dimana kemungkinan adanya beberapa ketidakharmonisan antara “diri” sebagaimana adanya, dan “diri” sebagaimana yang mungkin diinginkanya untuk menjadi diperkecil. 

Dalam individu yang sehat dan yang mengaktualisasikan–diri muncullah suatu pola yang  berkaitan. Akan tetapi, situasi itu menjadi berbeda untuk suatu individu yang mendapat gangguan emosional. Cara-cara khusus bagaimana “diri” itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak, tergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima anak itu dalam masa kecil. Penghargaan positif, merupakan suatu kebutuhan yang bisa memaksa dan merembes dimilki oleh semua manusia, setiap anak terdorong untuk mencari “penghargaan-positif.” Akan tetapi tidak setiap anak menemukan kepuasan yang cukup akan kebutuhan ini. Anak puas kalau dia menerima cinta, kasih sayang, dan persetujuan dari orang-orang lain (biasanya kedua orang tua, tamanya ibu). Sebaliknya, anak kecewa kalau dia menerima celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang.  

Pengertian-diri atau self-concept yang berkembang pada anak sangat dipengaruhi oleh ibu.  Anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Anak dalam situasi ini mengembangkan apa yang disebut Rogers penghargaan positif bersyarat atau conditional positive regard. Kasih sayang dan cinta yang diterima anak adalah cara terhadap tingkah lakunya yang baik. Karena anak mengembangkan penghargaan positif bersyarat maka dia akan menginternalisasikan sikap-sikap ibu. Jika hal itu terjadi, maka sikap ibu diambil oleh anak itu dan diterapkan kepada dirinya.

Misalnya, apabila ibu menyatakan celaan setiap saat karena anak menjatuhkan suatu benda dari tempat tidurnya, maka anak itu akhirnya mencela dirnya sendiri sewaktu-waktu dia bertingkah laku demikian. Standar-standar penilaian dari luar menjadi miliknya sendiri, dan anak itu menghukum dirinya sendiri hanya bila bertingkah laku menurut cara-cara yang diketahuinya disetujui oleh ibu. Dengan demikian diri anak yang terbentuk merupakan watak ibu. Karena keadaan yang menyedihkan ini dimana anak menerima penghargaan positif bersyarat, pertama-tama dari ibunya, kemudian dari dirinya maka syarat-syarat penghargaan menjadi berkembang. 

Ini berarti bahwa anak itu merasa suatu perasaan harga diri bisa muncul hanya dalam syarat-syarat tertentu. Anak itu harus menghindari tingkah laku atau pikiran dalam cara-cara yang menyebabkan celaan atau penolakan oleh standar-standar yang telah diambil anak itu dari ibu. Melaksanakan berbagai tingkah laku yang awalnya dilarang menyebabkan anak itu merasa salah dan tidak berharga, dengan syarat-syarat yang harus dilawan oleh anak itu. Dengan demikin sikap defensif menjadi bagian dari tingkah laku anak. Sikap tersebut akan muncul kembali sewaktu-waktu anak menghabisi kecemasan; misalnya sewaktu anak (atau kelak sebagai orang dewasa) tergoda untuk menampilkan tipe tingkah laku yang dilarang. Sebagai akibat dari sifat defensif ini, kebebasan individu terbatas, kodrat atau dirinya sejati tidak dapat diungkapkan sepenuhnya. 

“Diri” tidak dibiarkan untuk beraktualisasi sepenuhnya karena beberapa segi dari diri harus dicek. Syarat-syarat penghargaan berlaku seperti menutup mata kuda, hanya berjalan lurus, searah, menatap ke depan, kiasan ini memotong suatu bagian dari pengalaman yang semestinya diperoleh anak. Orang-orang dengan syarat-syarat penghargaan harus membatasi tingkah laku dan pikiran yang tidak pantas, namun dapat merasa terancam kalau mereka memamerkannya. Karena individu-individu ini tidak dapat berinteraksi sepenuhnya dan terbuka dengan lingkungan mereka, maka mereka mengembangkan apa yang disebut Rogers sebagai “ketidakharmonisan“ atau incongruence antara konsep-diri dan kenyataan yang  mengitari diri. 

Dengan kata lain, mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian-kepribadian yang sehat. Syarat uatama bagi timbulnya kepribadian sehat adalah penerimaan “penghargaan positif tanpa syarat“ atau uncoditional positive regard pada masa kecil. Hal ini berkembang apabila ibu memberikan cinta dan kasih sayang tanpa memperhatikan bagaimana anak bertingkah laku. Cinta dan kasih sayang yang diberikan dengan bebas ini dan sikap yang ditampilkan bagi anak itu, menjadi sekumpulan norma dan standar yang diinternalisasikan, sama seperti halnya sikap-sikap ibu yang memperlihatkan “penghargaan positif bersyarat” diinternalisasikan oleh anaknya. Rogers percaya bahwa ibu dapat mencela tingkah laku–tingkah laku tertentu tanpa pada saat yang sama menciptakan syarat-syarat dalam mana anak akan menerima cinta dan kasih sayang. 

Hal ini dapat dicapai dalam suatu situasi yang membantu anak menerima beberapa tingkah laku yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkannya merasa salah dan tidak berharga setelah melakukan tingkah laku tersebut. Anak yang tumbuh dengan perasaan “penghargaan positif tanpa syarat“ tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan. Jika syarat penghargaan tidak ada maka tidak ada kebutuhan bertingkah laku defensif. Untuk orang yang demikian, tidak ada pengalaman-pengalaman sepele yang mengancam. Dia dapat mengambil bagian dalam kehidupan dengan bebas dan sepenuhnya.

Orang tersebut bebas untuk menjadi orang yang mengaktualisasikan diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dan segera setelah proses aktualisasi diri mulai berlangsung, orang itu dapat maju ke tujuan terakhir, yakni menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. 

B. Peranan Positive Regard dalam Pembentukan Kepribadian Individu 

Menurut Rogers (dalam Boeree 2013), setiap organisme pada dasarnya tahu apa yang baik bagi mereka. Ketika lapar kita mencari makanan, tidak hanya sekedar makanan tetapi makanan yang bercitarasa enak. Makanan yang terasa tidak enak mungkin buruk, busuk, dan tidak sehat, seperti itulah apa yang terasa enak dan tidak enak menurut penilaian selera kita. Inilah yang disebut penilaian organismik (organismic valuing). 

Diantara banyak hal yang kita nilai sendiri adalah penghargaan positif (positive regard) istilah utama Rogers untuk hal-hal seperti cinta, kasih sayang, perhatian, pengasuhan, dan seterusnya. Hal lain yang dinilai adalah positif self-regard, yaitu penilaian positif erhadap diri, penghargaan diri, sebuah citra diri yang positif. Kita mencapai positif self-regard ini dengan mengalami sikap positif yang ditunjukkan orang lain kepada kita selama bertahun-tahun perkembangan kita. Tanpa self-regard ini, kita merasa kecil dan tidak ada yang menolong. Selain itu, kita gagal menjadi apapun yang kita wujudkan. Masyarakat juga menyebakan kita tersesat bersama condition of worth (kondisi-kondisi yang bermanfaat). 

Ketika kita bertumbuh kembang, orang tua, para guru, kelompok inti, media dan orang-orang lain hanya memberi kita apa yang kita butuhkan jika kita “layak” mendapatkannya, bukan hanya karena kita membutuhkannya. Kita mendapatkan minuman ketika kita mengakhiri kelas kita, kita mendapatkan sesuatu yang manis ketika kita menghabiskan sayur-sayuran kita dan yang paling penting, kita mendapatkan cinta dan kasih sayang jika dan hanya jika kita berbuat baik. Mendapatkan sikap positif berdasarkan “syarat“ tersebut disebut Rogers sebagai conditional positive regard (penghargaan positif yang bersifat condisional). Karena kita betul-betul membutuhkan sikap positif, syarat-syarat ini sangat kuat dan kita membelokkan diri kita kesebuah bentuk yang telah ditentukan, bukan lantaran organismik valuing atau kecenderungan aktualisasi kita, tetapi lantaran sebuah masyarakat yang mungkin betul-betul memiliki perhatian terbaik pada kita. 

Pensyaratan seperti ini sering kali membuat kita memiliki conditional positive self-regard juga. Kita mulai menyukai diri kita hanya ketika kita menemui standar-standar yang diterapkan orang lain atas kita, bukan karena kita betul-betul mengaktualisasikan potensi-potensi kita. Karena standar-standar ini diciptakan tanpa melihat setiap individu, kita lebih sering menemukan diri kita merasa tidak mampu memenuhinya, sehingga kitapun tidak mampu mempertahankan sedikitpun penilaian positif atas diri kita sendiri. Aspek keberadaan seseorang yang didasarkan pada kecenderungan aktualisasi, yang mengikuti penilaian organis, kebutuhan dan penerimaan akan pertimbangan positif dan pertimbangan terhadap diri sendiri disebut Rogers dengan diri sejati (real-self). 

Dilain pihak, karena keinginan masyarakat hal itu sering tidak selaras dengan kecenderungan aktualisasi kita, dan didesak hidup dengan syarat-syarat kepatuhan yang berada diluar penilaian organis kita sendiri, serta hanya menerima pertimbangan diri positif condisional (conditional positive self-regard) dan pertimbangan terhadap diri sendiri, sehingga diri kitapun akan berkembang mejadi diri ideal (ideal-self ).  Apa yang dimaksud Rogers dengan ideal disini adalah sesuatu yang tidak real, sesuatu yang tidak akan pernah dicapai, standar-standar yang tidak akan kita penuhi. 


C. Ciri-Ciri Orang yang Berfungsi Sepenuhnya 

Menurut Rogers(dalam Baihaqi, 2008) ada lima sifat yang berfungsi sepenuhnya, yaitu: 

1. Adanya keterbukaan pada pengalaman 

Seseorang yang tidak terhambat oleh syarat-syarat penghargaan, bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap. Tidak satupun yang harus dilawan karena tak ada satupun yang mengancam. Jadi, keterbukaan pada pengalaman adalah lawan dari sikap defensif. Setiap pendirian dan perasaan yang berasal dari dalam dan dari luar disampaikan ke sistem saraf organisme tanpa distorsi atau rintangan. 

Orang yang demikian mengetahui segala sesuatu tentang kodratnya, dan tidak ada segi kepribadian tertutup. Hal ini berarti bahwa kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya menerima pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga dapat menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru. Sebaliknya,  kepribadian orang defensif, yang beroperasi menurut syarat-syarat penghargaan adalah statis, bersembunyi dibelakang peranan-peranan, tidak dapat menerima atau bahkan mengetahui pengalaman–pengalaman tertentu. 


2. Berada dalam kehidupan eksistensial

Rogers percaya bahwa kualitas dari kehidupan eksistensial ini merupakan segi yang sangat eksensial dari kepribadian yang sehat. Kepribadian terbuka kepada segala sesuatu yang terjadi pada momen dan dia menemukan dalam setiap pengalaman suatu struktur yang dapat berubah dengan mudah sebagai respon atas pengalaman momen yang berikutnya. 

3. Adanya kepercayaan terhadap organisme diri sendiri 

Prinsip ini mungkin paling baik dipahami dengan menuju kepada pengalaman Rogers sendiri. Dia menyatakan, “apabila suatu aktifitas terasa seakan-akan berharga atau perlu dilakukan, maka aktivitas itu perlu dilakukan. Sebaliknya, jika suatu aktifitas terasa tak ada makna dan tak berarti, maka aktivitas itu tak perlu diteruskan. Saya telah belajar bahwa seluruh perasaan organismik saya terhadap suatu situasi lebih dapat dipercaya dari pada pikiran saya”. Bertingkah laku menurut apa yang dirasakan benar, merupakan pedoman yang sangat dapat diandalkan dalam memutuskan suatu tindakan, lebih dapat diandalkan dari pada faktor-faktor rasional aatu intelektual. 

4. Memilki perasaan bebas 

Rogers percaya semakin seseorang sehat secara psikologis, maka semakin ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak tidak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan anatara alternatif pikiran dan tindakan.

5. Senantiasa kreatif 

Semua orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Mengingat sifat-sifat lain yang mereka miliki, sukar untuk melihat bagaimana seandainya kalau orang ini tidak demikian kreatif. Menurut Rogers (dalam Baihaqi, 2008), orang-orang yang terluka sepenuhnya kepada semua pengalaman, yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan dan tindakannya, ialah orang-orang yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif, serta kehidupan yang kreatif dalam semua bidang kehidupannya. Orang-orang yang kreatif dan spontan tidak terkenal karena konformitas atau penyesuaian diri yang pasif terhadap tekanan-tekanan sosial dan kultural.

D. Ciri Individu Islam  

Menurut Hasan al-Banna (dalam khalifasholihin wordpress.com) ada sepuluh ciri-ciri pribadi muslim, yaitu:

1. Salimul Aqidah

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam” (QS. al-An’am: 162)

2. Shahihul Ibadah

Ibadah yang benar (Shahihul Ibadah) merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting, dalam satu haditsnya beliau mengatakan: “sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”. Dari ungkapan ini, disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq

Aklak yang kukuh atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun hubungannya dengan makhluk-makhluk-Nya. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4).

4. Qowiyyul Jismi

Kekuatan jasmani merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Rasulullah SAW bersab da yang artinya: “Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah” (HR. Muslim).

5. Mutsaqqoful Fikri

Intelek dalam berfikir merupakan salah satu pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fathonah (cerdas) dan al-Quran banyak mengungkap ayat-ayat yang menstimuli manusia untuk berfikir, salah satunya firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tentang  khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besa dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanla: ‘yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir” (Qs. al-Baqarah: 219)

6. Mujahadatun Linafsihi

Berjuang melawan hawa nafsu merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecendrungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk sangat menuntut  adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada dengan seseorang itu berjuang melawan hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda: “tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam). HR. Hakim

7. Harishun ‘ala Waqtihi

Pandai menjaga waktu merupakan factor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah dalam al-Quran dengan menyebut nama waktu, seperti wal fajri, wadduhaa, wal ashri, wallayli dan sebagainya. 

Nabi SAW menyinggung tentang memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin. 

8. Munazhzhamun fi Syu’unihi

Teratur dalam suatu urusan termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh al-Quran maupun Sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam baik yang terkait dengan masalah ubudiyyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika sutu urusan ditanganan secara bersama-sama, maka diharuskan bekerja sama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepada-Nya. 

9. Qodirun ‘ala Kasbi

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau mandiri merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian seorang muslim dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rezki dari Allah SWT, karena rezki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill  atau keterampilan.

10. Naafi’un Lighoirihi

Bermanfaat bagi orang lain merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik, sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal mungkin untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu. 

Sehingga jangan sampai seorang muslim tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakat. Rasulullah SAW bersabda: ”sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. HR. Qudhy dari Jabir


DAFTAR PUSTAKA


Baihaqi, MIF. 2008. Psikologi Pertumbuhan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Boeree, George. 2013. General Psychology. Jogjakarta: Prismasophie.

https://khalifasholihin.wordpress.com/2011/11/26/10-ciri-ciri-peribadi-muslim-hasan-al-banna

Perkembangan (Faktor, Pengaruh, dan Perkembangan Kognitif)

A. Faktor-faktor Perkembangan

Para ahli berbeda pendapat tentang faktor mana yang lebih dominan pengaruhnya terhadap seseorang dalam perkembangannya, apakah pembawaan ataukah lingkungan. Untuk menjawabnya, dalam hal ini pendapat mereka tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Aliran/ golongan Nativisme

Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan sejak lahir. Mereka mengemukakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dibekali (membawa) bakat-bakat yang berasal dari generasi sebelumnya, apabila pembawaan itu baik maka akan baik pula anak itu kelak, demikian juga sebaliknya. Menurut anggapan aliran ini, segala pengaruh lingkungan atau pendidikan tidaklah berarti apa-apa, karena segala bakat atau pembawaan itu akan berkembang dengan sendirinya tanpa dapat dirubah, sehingga pendidikan tidak perlu (pesimisme pendagogis).

Manshur Ali Rajab (1961) menyebutkan bahwa ada lima macam yang dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya, yaitu; pertama, pewarisan yang bersifat jasmaniah; kedua pewarisan yang bersifat intelektual; ketiga, pewarisan yang bersifat tingkah laku; keempat, pewarisan yang bersifa alamiah; dan kelima, pewarisan yang bersifat sosiologis. Tokoh terkemuka aliran ini adalah Schopenhauer (1788-1860), Plato, Descartes dan beberapa ahli tokoh yang mendukungnya yaitu Lambroso, E. Ferri dan R. Garofalo.


2. Aliran/ golongan Empirisme

Pendapat empirisme merupakan kebalikan dari Nativisme yakni bahwa perkembagan manusia itu lebih banyak dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungannya (paedagigis), kata Watson (seorang tokoh behavioris AS) “Beri saya sejumlah anak, akan saya jadikan dokter, ahli hokum dan lain-lain, bahkan pengemis dan pencuri sekalipun. Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini adalah bahwa manusia lahir dalam kondisi netral, tidak membawa potensi apapun, ia bagaikan kertas putih (tabula rasa; meja dari lilin) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki oleh lingkungannya.

Lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku terdiri dari lima aspek, yaitu (1) geografis/ alamiah yakni lingkungan berdasarkan letak wilayah seperti di dataran, pegunungan, atau pesisir pantai. (2) Lingkungan historis yaitu lingkungan yang ditentukan oleh keadaan suatu masa atau era dengan segala perkembangan keberadabannya. (3) Lingkungan sosiologis yaitu lingkungan yang ditentukan oleh hubungan antar individu dalam suatu komunikasi social. (4) Lingkungan kultural, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh kultur suatu masyarakat. (5) Lingkungan psikologis adalah lingkungan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan, seperti kondisi rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran, kemerdekaan, keamanan, kesejahteraan dan sebagainya (M. Mahmud: 1984). Tokoh aliran ini adalah John Locke dan diperkuat oleh Sigaud dan Mac Aulife.


3. Aliran/ golongan Konvergensi

Aliran ini menganggap bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembaawaan dan lingkungan. Aliran yang ketiga ini berusaha mengambil jalan tengah antara kedua pendapat di atas, yang mana dalam dunia pendidikan bahkan dalam kehidupan secara keseluruhan tidak pernah ada manusia yang dalam proses perkembangan menuju kedewasaan/ kematangan hanya ditentukan oleh factor keturunan atau oleh factor lingkungan saja.

Bakat saja tanpa adanya pengaruh lingkungan yang cocok dalam perkembangan anak belumlah cukup, demikian pula lingkungan yang baik tetapi tidak sesuai dengan bakat yang dimiliki anak juga tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Tokoh konvergensi ini ialah William Sterm, dan disempurnakan oleh M. J. Langeveld. (Rohmah, 2015: 93-96)

Kalau dilihat dari sudut pandangan Islam, yang diasumsikan dari struktur nafsani tidak lantas menerima ketiga aliran di atas. Disamping terdapat kelemahan-kelemahan, ketiga aliran tersebut hanya berorientasi teorinya pada pola pikir antroposentris, artinya perkembangan kepribadian manusia seakan-akan hanya dipengaruhi oleh factor manusiawi. Manusia dalam pandangan Islam telah memiliki seperangkat potensi, disposisi, dan karakteristik unik.

Potensi yang ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir itulah yang dinamakan fitrah, yakni keimanan, ketauhidan, keislaman, keselamatan, kesucian, kecenderungan menerima kebenaran dan kebaikan serta sifat lainnya. Semua potensi itu bukan diturunkan dari orang tua, melainkan diberikan oleh Allah Swt. sejak di alam perjanjian (mistq). Proses pemberian potensi-potensi itu melalui struktur rohani. Jadi secara potensial, kondisi kejiwaan manusia tidak netral, apalagi kosong seperti kertas putih, namun secara hukum manusia tidak memiliki kebaikan atau keburukan yang diwarisi, tapi sangat tergantung kepada realisasi dirinya.

Kesimpulannya dalam Islam faktor hereditas boleh jadi menjadi salah satu factor perkembangan. Hal ini tertera dalam hadits Nabi bahwa pemilihan jodoh itu harus dilihat dari empat segi, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Nabi kemudian mengajarkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah tangganya menjadi bahagia dan selamat. Peran lingkungan dalam penentuan proses perkembangan juga diakui dalam Islam. Banyak ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menjelaskan pentingnya peran lingkungan dalam proses perkembangan misalnya seruan amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 104), belajar menuntut ilmu agama lalu mendakwahkan pada orang lain (QS. At Taubah: 122), seruan kepada orang tua agar memelihara keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6) dan seterusnya.

Satu lagi factor penentu perkembangan manusia yaitu factor-faktor bawaan manusia itu sendiri yang dibawa sejak kelahirannya, yang ini sangat berkaitan dengan fitrah itu sendiri. Kesimpulan akhir bahwasannya jalan perkembangan manusia sedikit banyak ditentukan oleh pembawaan yang turun temurun yang oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuanmanusia itu sendiri yang dilakukan dengan bebas di bawah pengaruh factor lingkungan yang tertentu berkembang menjadi sifat. Dan ternyata tiap-tiap sifat dan ciri-ciri manusia dalam perkembangannya ada yang lebih ditentukan oleh lingkungan nya dan ada pula yang lebih ditentukan oleh pembawaannya. (Rohmah, 2015: 97-100)

B. Pengaruh Perkembangan Individu

Menurut teori Bronfenbrenner, konteks sosial dimana individu hidup akan banyak mempengaruhi perkembangan individu. Ada tiga konteks yang mempengaruhi perkembangan individu :

1. Keluarga

Individu tumbuh dalam keluarga yang berbeda–beda. Beberapa orang tua mengasuh dan mendukung anak mereka. Orang tua lainnya bersikap kasar atau mengabaikan anaknya. Anak lainnya tinggal dalam keluarga yang tidak pernah bercerai. Beberapa keluarga anak hidup dalam kemiskinan, yang lainnya berkecukupan. Situasi yang bervariasi ini akan memengaruhi perkembangan anak dan memengaruhi murid di dalam dan di luar kelas (Cowan & Cowan, 2002; Morrison & Cooney, 2002 ). 

2. Teman Sebaya

Selain keluarga teman seusia atau sebaya (peer) juga memainkan peran penting dalam perkembangan individu. Dalam konteks perkembangan individu, teman seusia adalah anak pada usia yang sama atau level kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman seusia adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin dibutuhkan untuk perkembangan normal (Howes & Tonyan, 2000; Rubin, 2000).

Dalam sebuah studi, hubungan dengan teman sebaya yang buruk di masa kanak-kanak menyebabkan terjadinya drop-out dari sekolah dan tindak kejahatan diusia remaja (Roff, Sells & Golden, 1972). Dalam studi lain, hubungan teman sebaya yang harmonis diusia remaja menyebabkan kesehatan mental yang positif diusia paruh baya nanti (Hightower, 1990). 


Para developmentalis telah dengan tepat menunjukan empat tipe teman sebaya, yaitu: 

a. Anak populer

Anak populer sering kali didominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukannya tidak disukai oleh kawan seusianya.

b. Anak diabaikan (neglected children

Anak diabaikan jarang didominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukannya tidak disukai oleh kawan seusianya. 

c. Anak ditolak (rejected children)

Anak ditolak jarang didominasikan sebagai kawan terbaik dan sering dibenci oleh teman-teman seusianya.

d. Anak kontroversial (conrtoversial children)

Anak kontroversial sering kali didominasikan sebagai teman baik tapi juga kerap tidak disukai.


3. Sekolah 

Di sekolah, anak menghabiskan banyak waktu sebagai anggota dari masyarakat kecil yang sangat mempengaruhi perkembangan sosio emosional mereka. Konteks Perkembangan Sosial yang Terus Berubah di Sekolah. Konteks sekolah bervariasi sejak masa kanak-kanak awal, sekolah dasar hingga remaja (Minuchin & Shapiro, 1983). Setting masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan yang terlindung yang batas-batasnya adalah ruang kelas. Dalam setting sosial yang terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru, yang biasanya perempuan, yang menjadi figur utama dalam kehidupan mereka saat itu.

Saat anak masuk ke sekolah menengah pertama, lingkungan sekolah semakin luas bukan sekedar ruang kelas. Remaja berinteraksi dengan guru dan teman seusia yang makin beragam. Perilaku sosial remaja makin mengarah pada interaksi dengan teman, ekstrakurikuler, klub, dan komunitas. 

Murid sekolah menengah lebih menyadari sekolah sebagai sistem sosial dan mungkin termotivasi untuk menyesuaikan diri dengannya atau menentangnya. (Santrock, 2004: 90-103)


C. Perkembangan Kognitif Individu

1. Otak

Jumlah dan ukuran saraf otak terus bertambah setidaknya sampai usia remaja. Beberapa penambahan ukuran otak juga disebabkan oleh myelination, sebuah proses dimana banyak sel otak dan sistem saraf diselimuti oleh lapisan-lapisan sel lemak yang bersekat-sekat. Myelination dalam daerah otak yang berhubungan dengan koordinsi mata-tangan belum lengkap sampai usia empat tahun. Myelination dalam area otak yang penting dalam memfokuskan perhatian belum lengkap sampai akhir usia sekolah dasar (Tanner, 1978).

Aspek penting lain dari perkembangan otak di tingkat sel adalah peningkatan dramatis dalam koneksi antara neuron (sel-sel saraf) (Ramey & Ramey, 2000). Dalam studi terbaru yang menggunakan teknik pemindaian (scanning) otak yang canggih, otak anak-anak tampak mengalami perubahan anatomis yang substansial antara usia tiga sampai lima belas tahun (Thompson dkk., 2000).

2. Teori Piaget

Proses Kognitif. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema (kerangka kognitif atau kerangka referensi). Sebuah skema adalah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran individu yang dipakai untuk mengorganisasikan dan menginterprestasikan informasi.

Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggung jawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukan pengetahuan baru kedalm pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika menyesuaikan diri pada informasi baru.

Piaget juga mengatakan bahwa untuk memahami dunianya, anak-anak secara kognitif mengorganisasikan pengalaman mereka. Organisasi adalah konsep Piaget yang berarti usaha mengelompokan perilaku yang terpisah-pisah kedalam urutan yang lebih teratur, kedalam sistem fungsi kognitif. Ekuilibrasi adalah suatu mekanisme yang di kemukakan Piaget untuk menjelaskan sebagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya.

3. Teori Vygotsky

Seperti Piaget, Vygotsky (1896-1934) dari Rusia juga percaya bahwa anak akhir dalam menyusun pengetahuan mereka.

a. Asumsi Vygotsky

Ada tiga klaim dalam inti pandangan Vygotsky (Tappan,1998): (1) keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisis dan diinterprestasikan secara developmental; (2) kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa, dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasi aktivitas mental; dan (3) kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.

Menurut Vygotsky, menggunakan pendekatan developmental  berarti memahami fungsi kognitif anak dengan memeriksa asal usulnya dan transformasinya dari bentuk awal ke bentuk selanjutnya. Jadi, tindakan mental tertentu seperti menggunakan “ucapan batin” (inner speech) tidak bisa dilihat dengan tepat secara tersendiri tetapi harus di evaluasi sebagai satu langkah dalam proses perkembangan bertahap.

Klaim kedua Vygotsky, yakni untuk memahami fungsi kognitif kita harus memeriksa alat yang memperantarai dan membentuknya, membuat Vygotsky percaya bahwa bahasa adalah alat yang paling penting (Robbins, 2001). Klaim ketiga Vygotsky, mengatakan bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan culture. Vygotsy mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural (Holland, dkk.,2001)

b. Zone of Proksimal Development

Zone of Proksimal Develpment (ZPD) adalah istilah  Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang dewasa atau anak yang lebih mampu.

c. Scaffolding

Adalah sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran, orang yang lebih ahli menyesuaikan juumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai.

d. Bahasa dan Pemikiran

Vygotsky (1962) percaya bahwa anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri. Bahasa itu digunakan untuk mengatur diri sendiri yang dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) atau “pembicaraan privat” (privat speech). 

e. Mengevaluasi dan Membandingkan Teori Piaget dan Vygotsky

Pengetahuan akan teori Vygotsky datang lebih belakangan ketimbang teori Piaget, sehingga teori Vygosky belum dievaluasi secara menyeluruh. Akan tetapi, teorinya sudah dianut oleh banyak guru dan berhasil diterapkan untuk pendidikan (Doolittle, 1997). (Santrock, 2004: 43-65)

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...