Minggu, 12 Juli 2020

Fenomena Psikologi Panic Buying Akibat Covid - 19 di Tengah Masyarakat

FENOMENA PSIKOLOGI PANIC BUYING AKIBAT COVID-19 DI TENGAH MASYARAKAT
BY: NURUL AULIA FITRA


Akhir-akhir ini, banyak ditemukan fenomena panic buying yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit pandemic Covid-19, masyarakatnya banyak yang menunjukkan perilaku ini. Di Indonesia sendiri, banyak kasus-kasus yang bermunculan, diantaranya yaitu pembelian barang pokok, snack atau pun perangkat kesehatan seperti hand sanitizer, masker, sabun, alat pengukur suhu dan sejenisnya yang dibeli dalam jumlah yang besar dan sangat berlebihan. Hal ini merupakan tindakan yang irrasional dan salah, karena tindakan tersebut sangat egois, bukan hanya diri kita yang butuh, tapi juga orang lain. Tindakan ini bisa berakibat pada langkanya barang tersebut dan harga barang-barang itu naik. 
Dilansir dari cermati.com tanggal 23 Maret 2020, Tutum Rahanta (Anggota Dewan Penasehat HIPPINDO) mengatakah bahwa di Indonesia sendiri sudah dua kali terjadi rush atau belanja besar-besaran, pertama terjadi setelah pengunguman kasus pertama Covid-19 oleh Presiden Jokowi tanggal 2 Maret. Terlihat rak-rak kosong, tapi bukan karena stok tidak ada, melainkan sudah habis sebelum dipajang. Kedua, terjadi pada 14 Maret 2020 karena ada isu lockdown. Selanjutnya terjadi lagi peningkatan pembelian, namun aksi panic buying dalam skala yang tidak terlau besar.
Hal ini dapat terjadi karena banyaknya informasi simpang siur mengenai Covid-19. Dengan meningkatnya kasus postif yang terjadi di Indonesia, tentunya hal ini membuat masyarakat semakin resah, panik dan takut. Akibatnya tidak ada lagi perasaan tenang dan aman. Tidak hanya masyarakat Indonesia, hampir seluruh masyarakat di dunia dilanda kecemasan yang berlebihan. Timbulnya kekhawatiran jika pendemi ini menjangkiti dirinya maupun keluarganya.
Selain menciptakan masalah kesehatan dan dampak ekonomi ke hampir semua negara di dunia, COVID-19 juga telah menyebabkan banyak individu untuk mengadopsi perilaku pembelian yang tidak biasa. Misalnya, belum pernah terjadi sebelumnya membeli kertas toilet di Hong Kong dan Australia, antri untuk membeli senjata di AS dan permintaan berlebihan untuk banyak barang kebutuhan sehari-hari di semua hampir semua negara di dunia (Altsdter & Hong, dalam Kuruppu 2020).
Sejak awal pandemi corona virus telah ada peningkatan penggunaan masker (Feng et al., dalam Roy, et al., 2020) dan pembersih yang menghasilkan kelelahan sumber daya di pasar. Kekurangan peralatan perlindungan pribadi membahayakan pekerja kesehatan di seluruh dunia (WHO, 2020c). Tidak adanya tindakan perlindungan yang tepat merupakan penyebab utama kekhawatiran di antara tenaga medis. Kecemasan dan kekhawatiran dalam masyarakat secara global mempengaruhi individu secara luas. Bukti terbaru menunjukkan bahwa individu yang ditempatkan dalam isolasi dan karantina mengalami kesulitan yang signifikan dalam bentuk kecemasan, kemarahan, kebingungan dan gejala stres pasca-trauma (Brooks et al., dalam Roy, et al., 20202020).
Ekonomi penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen atau masyarakat ketika ada situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat sering dikenal dengan istilah panic buying. Perilaku panic buying menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dipicu oleh factor psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau tidak menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara pasif sebagai upaya penyelamatan diri. Terdapat dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama adalah khawatir kalau tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada.
Panic Buying adalah sebuah fenomena yang terjadi selama krisis besar. Analisis perilaku pembelian selama krisis mengungkapkan beberapa hal temuan yang menarik. Pertama, beberapa pola permintaan terjadi secara alami dan dapat dibenarkan ketika mereka melakukan tindakan spontan yang bertujuan untuk mencegah atau melindungi diri dari penyakit. Kedua, Intervensi media memang membantu individu untuk melakukan akses informasi yang akurat dan bermanfaat, terutama dalam situasi bencana. Namun, media juga dapat menyebarkan informasi yang salah dan secara tidak sengaja orang-orang melakukan tindakan yang tidak perlu meskipun niatnya untuk menyebarkan informasi yang akurat. 
Perilaku irasional yang timbul akibat panic buying dapat menyebabkan meroketnya harga produk dan juga menyebabkan semakin banyaknya sampah rumah tangga. Alhasil, dapat memperburuk dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. Demikian pula, panic buying biasanya dipimpin oleh kelas atas dan menengah karena kapasitas mereka untuk melakukannya, kelas berpenghasilan rendah adalah kelompok yang tidak akan melakukan hal itu. Orang-orang di kelas ini umumnya kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan panic buying dan akibatnya ketinggalan barang-barang penting untuk kehidupan mereka. Kelompok lain yang mungkin terpengaruh oleh panic buying adalah petugas kesehatan garda terdepan karena mereka akan merasa sulit ketika bekerja karena kurangnya alat perlindungan diri. Hal ini akan semakin memperburuk konsekuensi kesehatan dan sosial selama pandemi. 
Perilaku menimbun adalah salah satu tindakan yang menonjol selama krisis Covid-19. Selama krisis corona virus terus berlangsung di seluruh dunia tanpa adanya vaksin, ketidakpastian, dan isolasi sosial akan muncul di benak orang. Hal ini mendorong pembelian panik dan perilaku menimbun. Penimbunan membutuhkan lebih banyak barang daripada yang biasa digunakan, sampai menghalangi fungsi rumah. Perilaku yang terlihat di tengah Covid-19 mungkin tidak "menimbun" dalam arti sebenarnya, mereka cenderung didorong oleh mekanisme psikologis yang sama. Perilaku menimbun menghasilkan ketidakmampuan individu yang dirasakan untuk mentolerir kesusahan, dan untuk menghindari kesusahan, mereka membeli lebih banyak produk daripada mereka dapat digunakan secara layak selama pandemic.
Pilihan atau keputusan konsumen merupakan masalah signifikan dalam perilaku konsumen. Mengenai pilihan, konsumen dihadapkan dengan ketidakpastian yang disebabkan oleh ketidakpastian akan masa depan (Taylor, dalam Wijaya, 2020). Taylor (dalam Wijaya, 2020) menyatakan bahwa ketidakpastian akan menyebabkan kegelisahan, begitu pula individu membutuhkan cara untuk mengurangi kecemasan melalui pengurangan risiko. Kecemasan juga terbentuk oleh harga diri dan kepercayaan diri individu. Setiap pilihan konsumen melibatkan dua aspek, yaitu ketidakpastian dalam hasil dan dampak. Ketidakpastian yang terkait dengan hasil dapat diminimalkan oleh informasi atau pengetahuan, sementara ketidakpastian dampak dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah yang dipertaruhkan atau menunda pilihan. 
Aspek risiko adalah bagian dari perilaku panik pada konsumen (Fei et al., dalam Wijaya, 2020). Hessels et al., (dalam Wijaya, 2020) menyatakan bahwa ketakutan akan kegagalan dikaitkan dengan penghindaran risiko. Dalam kepanikan tertentu membeli adalah masalah umum di lingkungan yang bergerak cepat seperti saat ini, penyebabnya termasuk kondisi cuaca buruk, pemogokan, bencana alam, dan perubahan kebijakan pemerintah (Tsao et al., 2019). Peristiwa ini menimbulkan risiko bagi pilihan konsumen. Secara pribadi, risiko dapat digambarkan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu (Wildavsky & Dake, 1990). Pilihannya sangat ditentukan oleh manfaat dan persepsi risiko itu muncul. Sikap konsumen menentukan keduanya. Konsumen yang memiliki Sikap positif cenderung merasakan manfaat yang lebih tinggi, sedangkan konsumen yang memiliki sikap negatif akan memiliki persepsi risiko yang lebih tinggi (Slovic & Peters, 2006).
Ketika konsumen merasakan spesifik risiko, mereka cenderung mencari konfirmasi persepsi mereka (Slovic, 1987). Konsumen yang merasa risiko wabah akan mengambil spekulasi untuk bertindak untuk mengurangi tingkat risiko dirasakan melalui pembelian skala besar. Misalnya, risiko kekurangan makanan, jika ada karantina di daerah tersebut dan jika tidak ada peralatan kesehatan saat wabah. Aspek persepsi risiko juga terkait dengan pengetahuan. Konsumen yang punya pengetahuan tentang cara mengurangi risiko akan memiliki kemampuan untuk mengurangi kepanikan yang ada, menurut pendapat Taylor (dalam Wijaya, 2020) informasi mampu mengurangi hasil ketidakpastian. Kecemasan eksternal juga muncul sebagai akibat dari pengaruh luar. Individu menilai sesuatu jika mereka tidak memiliki informasi yang cukup akan menggunakan model lain sebagai sumber informasi.
Menurut Azjen (dalam Wijaya, 2020), konsep ini disebut norma subyektif yang merupakan faktor situasional yang mempengaruhi individu untuk berperilaku. Norma akan mengarah ke sikap dan tindakan yang cenderung homogen (Azjen, 2005), sehingga konsumen dalam kondisi yang tidak stabil memiliki kecenderungan untuk mengikuti perilaku orang-orang di sekitar mereka. Itulah kelompok referensi yang memiliki pengaruh kuat pada pilihan produk dan pilihan merek untuk konsumen dalam model perilaku konsumen adalah keluarga (Kotler, 2006; Engel et al, 2005). Anggota keluarga menjadi bagian dari pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan.
Panic buying (PB)/ peningkatan pembelian perilaku telah diamati selama keadaan darurat kesehatan masyarakat sejak zaman kuno. Persepsi kelangkaan (efek kelangkaan yang dirasakan) sangat terkait dengan kepanikan perilaku membeli dan perilaku menimbun yang meningkat sehingga terjadi kelangkaan. (Wilkens 2020; Dholakia 2020; Bonneux dan Van Damme 2006). Hal ini juga menciptakan perasaan tidak aman yang pada gilirannya mengaktifkan mekanisme lain untuk mengumpulkan barang-barang (Dholakia dalam Arafat, et al., 2020). Perasaan kehilangan kendali atas lingkungan dapat dianggap sebagai penyebabnya. Selama masa krisis, orang umumnya suka mengendalikan sesuatu dan mereka membawa beberapa aspek kepastian (Wilkens, dalam Arafat, et al., 2020).
Pembelian panik juga telah dikaitkan dengan perasaan tidak aman dan instabilitas yang dirasakan di situasi tertentu (Hendrix, dalam Arafat, et al., 2020). Status pandemi korona pada tahun 2020 meninggalkan komunitas dengan ketidakpastian. Orang-orang tidak yakin kapan bencana akan berakhir, sehingga menghemat kebutuhan dasar dan membeli sebanyak mungkin adalah jalan pintas untuk mengatasi perasaan tidak aman. Selanjutnya, gangguan pasokan, suatu kondisi dimana pasokan produk normal dalam rantai pasokan terganggu, telah diamati selama bencana atau bencana lain yang tidak diinginkan (Shou, at al., 2013). 
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan hal-hal serupa yang terjadi selama epidemi dan bencana alam lainnya di masa lalu. Persediaan dari obat-obatan dan vaksin dianggap sebagai metode persiapan dalam kasus pandemi (Jennings et al., 2008). Selama krisis, orang kadang percaya bahwa Pemerintah tidak akan dapat mengendalikan pemasaran gelap dan memberikan dukungan kepada warga negara. Kurangnya kepercayaan dan antisipasi kehabisan sumber daya mungkin bertanggung jawab atas kepanikan pembelian. Mereka tanpa pikir panjang meremehkan risiko bahaya dan meremehkan risiko kemungkinan bantuan (Bonneux dan Van Damme, 2006). Singkatnya, ketakutan akan kelangkaan dan kehilangan kendali atas lingkungan, ketidakamanan (yang bisa karena ketakutan), pembelajaran sosial, memperburuk kecemasan, respon primitif dasar manusia adalah faktor inti yang bertanggung jawab atas fenomena panic buying. 
Untuk mengantisipasi dan memitigasi terulangnya panic buying, maka diperlukan kejelasan informasi dari otoritas yang berwenang. Selain itu, informasi yang disajikan pemerintah, idealnya tidak tumpang tindih. Jelasnya informasi yang diterima oleh masyarakat dapat meredam tekanan psikologis masyarakat termasuk dari berbagai macam berita hoax. Langkah konkret lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membagikan masker secara gratis kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah pemerintah RI lakukan saat mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan. Distribusi pembagian masker ini pun bisa dilakukan secara fleksibel, seperti di pusat keramaian umum, perkantoran, sekolah-sekolah, dan sebagainya dengan syarat menggunakan protocol kesehatan COVID-19.
Steven Taylor, Profesor sekaligus Psikolog Klinis di University of British Columbia, mengungkapkan, dalam kasus terjadinya bencana alam, terdapat perbedaan gagasan yang jelas antara persiapan untuk menghadapi bencana dan sekedar pembelian berlebih. Dalam kasus sebaran Virus Corona, ada banyak ketidakpastian yang mendorong terjadinya perilaku pembelian berlebih. Panic buying menurut Taylor didorong oleh kecemasan dan keinginan untuk berusaha keras menghentikan ketakutan tersebut. “Panic buying membantu orang merasa mengendalikan situasi. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang sebanding dengan apa yang mereka anggap sebagai tingkatan krisis.”
Panic buying tidak terjadi begitu saja, ada alasan ilmiah di balik timbulnya keinginan untuk memborong barang-barang dan makanan di tempat perbelanjaan. Panik adalah perpanjang dari cemas. Sementara cemas itu perpanjangan dari takut. Takut adalah keinginann untuk menghindari sesuatu yang ada saat ini. Jika ketakutan tersebut berdasarkan ketidakpastian di masa depan, maka akan terjadi kecemasan (Nurkholis, 2020). Ketika seseorang punya kecemasan, pada titik tertentu area prefrontal cortex pada otak tidak bisa bekerja. Prefrontal cortex adalah bagian otak yang memproses hal-hal yang rasional/ ketika area ini tidak bekerja karena kecemasan akan ketidakpastian, bagian yang bekerja adalah limbic system (system limbik), akibatnya rasa takut dan cemas jadi tidak bisa dikontrol. Jika hal itu terjadi, maka yang harus dilakukan adalah bernafas, ambil napas dalam-dalam, 10-20 hitungan, lalu keluarkan secara perlahan. Sehingga aliran darah menjadi lebih lancar dan oksigen bisa naik ke otak sehingga prefrontal cortex bisa berfungsi kembali, lalu individu bisa berpikir dengan jernih. 
Perilaku panic buying dan menimbun barang tidak diperbolehkan di dalam Islam, hal ini bertolak belakang dengan spirit etika bisnis dan nilai-nilai ekonomi islam. Karena, perbuatan tersebut telah mengancam dan merugikan sesama manusia. Orang yang menampilkan perilaku seperti itu disebut serakah, egois dan mementingkan diri sendiri. Contohnya, kondisi kelangkaan dan melonjaknya harga masker di berbagai wilayah, akibat keserakahan manusia yang memanfaatkan wabah Corona sebagai peluang bisnis.
Beberapa tips dalam mengatasi Panic buying menurut Dicky Palupessy, Wasekjen IABI (dalam Audina, 2020) adalah sebagai berikut: 
Belanja dengan cerdas/ smart buying
Maksudnya yaitu belilah keperluan yang memang sangat dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk sekeluarga sesuai dengan kemampuan dan dalam waktu yang rasional, misalnya kwbutuhan untuk sekali seminggu.
Jangan langsung panik dengan pemberitaan di media
Pintarlah dalam memilih dan menyikapi pemberitaan oleh media, baik itu media elektronik maupun cetak. Tetap tenang dan cari informasi yang terpercaya dan valid.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arafat, S. Y., Kar, S. K., Marthoenis, M., Sharma, P., Apu, E. H., & Russel, K. (2020). Psychological underpinning of panic buying during pandemic (COVID-19). Elsevier, 2-4.

Ariyanti, Fiki. (23 Maret 2020). Panic Buying Akibat Corona, Belanja Sembako di Swalayan Dibatasi. Ini Daftarnyaǃ. Diakses pada tanggal 15 Juni 2020. Link: https://www.cermati.com

Audina, Nur Indah Farah. (22 Maret 2020). Tips Mengatasi Panic Buying dan Cara Cerdas dalam Berbelanja. Diakses pada tanggal 17 Juni 2020. Link: https://www.google.com 

Kuruppu, G. (2020). COVID-19 and Panic Buying: an Examination of the Impact of Behavioural Biases. SSRN, 1-6.

Ling, G. H., & Ho, C. M. (2020). Effects of the Coronavirus (COVID-19) Pandemic on Social Behaviours: From a Social Dilemma Perspective. Technium Social Sciences Journal, Vol. 7, 312-320, 312-314.

Mawandha, H. G. (2009). Cognitive Behavior Therapy and Anxiety Facing Medical Procedures in Children with Leukemia . Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 1, No. 1, 77-78.

Nurkholis. (2020). Dampak Pandemi Novel-Corona Virus Disiase (Covid-19) Terhadap Psikologi Dan Pendidikan Serta Kebijakan Pemerintah . Jurnal PGSD, Vol. 6, No. 1, 42-43.

Roy, D., Tripathy, S., Kar, S. K., Sharma, N., Verma, S. K., & Kaushal, V. (2020). Study of Knowlwdge, Attitude, Anxiety & Perceived Mental Healthcare Need in Indian Population During COVID-19 Pandemic. Asian Journal of Psychiatry, Vol. 51, 1-3.

Sanyata, S. (2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling . Jurnal Paradigma, No. 14 , 3-6.

Shou, B., Xiong, H., & Shen, Z. M. (2013). Consumer Panic Buying and Quota Policy Under Supply Disruptions. Manufacturing & Service Operations Management, 1-5.

Wijaya, T. (2020). Factor Analysis Panic Buying During the COVID-19 Period in Indonesia. SSRN, 1-5.


#KKNIAINBATUSANGKAR2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

6 komentar:

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...