Jumat, 04 Februari 2022

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbeda dengan orang lain. Kesepian akan muncul bila seseorang merasa: tersisih dari kelompoknya, tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman, serta seseorang harus sendiri tanpa ada pilihan. Kesepian yang dialami seseorang sebenarnya merupakan gejala umum. Kesepian bisa dialami oleh siapa saja, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjit. Kesepian yang dialami oleh usia lanjut lebih terkait dengan berkurangnya kontak sosial, absennya atau berkurangnya peran social, baik dengan anggota keluarga, masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun (Suardiman, 2011).

Banyak pendekatan yang digunakan oleh para ahli psikologi dalam memberikan batasan tentang loneliness. Pertama, ditinjau dari aspek kebutuhan hubungan pribadi atau need for intimacy. Dengan demikian kesepian muncul karena ketidakhadiran hubungan yang bersifat intim. Sullivan (dalam Desmita,2007) menjelaskan: “loneliness is the exceedingly unpleasant and driving experienced connected with inadequate discharge of the need for human intimacy, for interpersonal intimacy”.

Kedua, ditinjau dari aspek kognitif, yaitu bahwa kesepian berkaitan dengan persepsi dan evaluasi atas relasi sosial, dimana individu merasakan adanya ketidaksesuaian antara hubungan yang diinginkan dengan apa yang dialaminya. Ketiga, dari aspek bantuan sosial atau social reinforcement. Berdasarkan pada beberapa rumusan di atas dapat dipahamibahwa kesepian adalah kurangnya hubungan, baik hubungan istimewa antara individu dengan lingkungan dan sosialnya. Ada tiga hal yang diperhatikan dalam memahami kesepian, yaitu:

1. Perasaan kesepian merupakan hasil dari pengurangan atau penurunan hubungan sosial seseorang.

2. Perasaan kesepian merupakan pengalaman subjektif seseorang.

3. Pengalaman kesepian merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan (unpleasant) dan distressing.

Ada tiga tingkat penghayatan individu atas kesepian, yaitu:

1. Slightly Lonely (sedikit kesepian). Kesepian pada tingkat ini terjalin hubungan dengan pasangan, namun kurang merasakan kepuasan dalam kontak pribadinya.

2. Severe Lonely (kesepian berat). Pada tingkat ini dirasakan ketidakpuasan karena tidak adanya hubungan dengan pasangan, sekalipun ia menyatakan sangat puas dalam kontak pribadi dengan pasangan tersebut.

3. Utterly Lonely (sangat kesepian). Pada tingkat ini tidak adanya pasangan dan juga tidak puasnya kontak pribadi yang dirasakan dengan pasangan itu.


B. Aspek-aspek Kesepian

Burns menyatakan bahwa kesepian terkait dengan pikiran-pikiran negatif individu terhadap dirinya. Pikiran-pikiran neagtif itu yaitu:

1. Merasa terasing dan terkucil

Orang kesepian mengalami kesulitan dalam berteman dan menemukan kelompok atau organisasi tempat mereka akan senang bergabung.

2. Merasa tidak mempunyai harapan

Banyak orang kesepian merasa tidak mempunyai harapan lagi untuk mengembangkan suatu lingkungan teman atau menemukan seorang pasangan yang dapat mereka sayangi.

3. Merasa rendah diri

Banyak orang yang malu dan kesepian dan menderita perasaan rendah diri, sebab mereka selalu nmembandingkan dirinya dengan orangorang lain yang nampaknya lebih cerdas, lebih mempesona lebih menarik, dan lain-lain.

4. Merasa takut sendirian

Orang kesepian nyaris selalu sulit merasa bahagia dan puas bila mereka sendirian. Ketika sendirian seseorang akan merasa benar-benar tidak aman dan tidak puas jika tidak ada seorangpun yang mendekat mungkin akan bersikap murung dan memperlakukan diri secara acuh.


C. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Secara garis besar (dalam Desmita, 2007) kesepian disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu precipitating events dan predisposing and maintaining factors.

1. Precipitating Events 

Merupakan peristiwa yang menjadi pemicu timbulnya kesepian dari individu. Peristiwa ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Perubahan relasi sosial individu secara actual yang membawa hubungan ke tingkat di bawah kondisi optimal. Kondisi ini terjadi karena perpisahan (seperti: putus hubungan dengan orang yang dicintai, perceraian, kematian pasangan, perpisahan karena anak-anak kuliah di kota lain, perpindahan keluarga ke komunitas yang baru); b) Terjadinya perubahan kebutuhan dan hasrat sosial individu.

2. Predisposing and Maintaining Factors

Yaitu perasaan kesepian yang disebabkan oleh faktor variasi kepribadian dan situasi yang dihadapi individu. Faktor ini dapat dibedakan menjadi karakteristik personal dan kultural situasional. Karakteristik personal dari kesepian dapat dilihat misalnya orang yang kesepian memiliki kepribadian yang pemalu, introvert dan kurang ada kemauan untuk menghadapi resiko sosial. Kesepian dalam hal ini dapat diasosiasikan dengan rendahnya harga diri. Orang seperti ini, hasrat sosialnya sangat kurang, sehingga membatasi kemungkinan dibukanya hubungan sosial.

Faktor kultural dan situasional dari kesepian dapat dilihat dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, seperti kompetisis, individulisme, kemandirian dan sebagainya yang dapat memupuk perasaan kesepian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepian yang dialami seseorang diperburuk oleh nilai-nilai kultural. Situasi sosial yang dialami individu dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya kesepian. Lokasi perumahan yang cenderung tidak memperhatikan keadaan lingkungan sekitar, dapat mempengaruhi interaksi sosial dan persahabatan. Kondisi lingkungan kerja yang terpencil dan terisolasi, menimbulkan kerentanan terhadap kesepian (Desmita, 2007).

Jadi, secara umum kesepian dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian antara kebutuhan pribadi, hasrat, kemampuan individu dengan realitas lingkungannya.


D. Cara Menanggulangi Kesepian

Ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu: pertama, upaya yang dilakukan oleh usia lanjut itu sendiri, dan inilah yang menjadi kuncinya, karena berasal dari dalam diri yang bersangkutan. Kedua, oleh orang lain, baik oleh anak, cucu, sanak keluarga maupun orang lain yang peduli pada usia lanjut.

1. Oleh Para Usia Lanjut Sendiri

Perlu dibentuk kelompok-kelompok usia lanjut yang memiliki kegiatan yang mempertemukan para anggotanya agar mereka memiliki kesempatan untuk saling tukar informasi, saling belajar dan bercanda. Mempertemukan sesama usia lanjut dan sebaliknya meninggalkan kebiasaan usia lanjut sebagai penunggu rumah perlu dilakukan.

Kontak sosial tidak harus dalam arti kontak secara fisik atau tatap muka. Jika kontak fisik tidak dapat dilakukan bisa menggunakan media yang mampu membantu mereka untuk melakukan kontak sosial.

Bila rasa kesepian datang lakukan suatu aktivitas seperti: kegiatan yang terkait dengan hobi, membaca, menulis, mendengarkan musik, melihat TV, berjalan-jalan, berbelanja, menyiram tanaman, menyusun buku, membersihkan kamar, dan kegiatan lain yang mungkin dilakukan yang dapat menimbulkan rasa senang dan sibuk untuk menghalau kesepian.

Bila rasa kesepian datang upayakan untuk segeramengatasinya dengan cara menelepon atau jika mungkin mengunjungi teman untuk mengobrol, diskusi, atau membicarakan suatu topik bahkan bicara bebas apa saja yang menarik.

2. Orang Lain

Mengunjungi secara periodik.

Jika kunjungan fisik tidak memungkinkan, diperlukan media seperti telepon, surat atau titip pesan atau sesuatu kepada seseorang yang bisa megunjungi usia lanjut, sebagai tanda kepedulian.

Menyediakan fasilitas yang dapat membantu mengurangi kesepian seperti radio, televisi, telepon dan lain sebagainya.

Bila usia lanjut berjauhan dengan anak/ cucu, maka tetangga terdekat merupakan orang yang sangat besar perannya bagi usia lanjut. Kesediaan tetangga untuk mengunjungi usia lanjut merupakan perbuatan yang sangat membahagiakan mereka. 


E. Kesimpulan

Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Kesepian yang dialami oleh usia lanjut lebih terkait dengan berkurangnya kontak sosial, absennya atau berkurangnya peran social, baik dengan anggota keluarga, masyarakat maupun teman kerja sebagai akibat terputusnya hubungan kerja atau karena pensiun (Suardiman, 2011). tingkat penghayatan individu atas kesepian, yaitu: slightly lonely (sedikit kesepian), severe lonely (kesepian berat), utterly lonely (sangat kesepian). Burns menyatakan bahwa kesepian terkait dengan pikiran-pikiran negatif individu terhadap dirinya.

Pikiran-pikiran neagtif itu yaitu: merasa terasing dan terkucil, merasa tidak mempunyai harapan, merasa rendah diri, dan merasa takut sendirian. Secara garis besar (dalam Desmita, 2007) kesepian disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu precipitating events dan predisposing and maintaining factors. Ada dua cara yang dapat ditempuh, yaitu: pertama, upaya yang dilakukan oleh usia lanjut itu sendiri, dan inilah yang menjadi kuncinya, karena berasal dari dalam diri yang bersangkutan. Kedua, oleh orang lain, baik oleh anak, cucu, sanak keluarga maupun orang lain yang peduli pada usia lanjut.


F. Saran

Dalam penyelesaiannya, makalah ini masih banyak memiliki kekurangan, akan tetapi penulis sudah berupaya menyelesaikan pembahasan dari makalah ini, untuk itu penulis meminta maaf kepada pembaca atas semua kekurangan, serta mohon kepada pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya, agar dalam pembuatan makalah ini bisa disempurnakan kembali dalam penyelesaiannya.


DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2007. Psikologi Orang Dewasa. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gaajah Mada University Press.

digilib.uinsby.ac.id


Minggu, 16 Januari 2022

Teori Psikologi tentang Kesehatan Mental

A. Perkembangan Kepribadian “Self” 

Bagaimana sebenarnya “diri“ individu berkembang? Rogers (dalam Baihaqi, 2008) mengilustrasikan  seperti ini: ketika individu masih kecil, sebagai anak-anak ia mulai membedakan atau memisahkan salah satu segi pengalamannya dari pengalaman yang lain. Segi ini adalah “diri“ dan itu digambarkan dengan bertambahnya penggunaan kata “aku” dan “kepunyaanku.” Anak itu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang menjadi milik atau bagian dari dirinya dan semua benda lain yang dilihat,  didengar, diraba, dan diciumnya ketika dia mulai membentuk suatu lukisan dan gambar tentang siapa dia. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu “pengertian-diri” atau self–concept

Sebagai bagian dari self-concept, anak itu juga mengambarkan dia akan menjadi siapa atau ingin menjadi siapa. Sering kali ketika anak di TK ditanya “nanti mau jadi apa?” mereka menjawab, “ingin menjadi presiden, ingin menjadi dokter atau ingin menjadi polisi.” Jawaban itu terbentuk dari pengamatan awal anak-anak atau sejumlah figur yang mereka tahu, apakah sosok presiden, dokter, atau polisi. Kemudian gambaran-gambaran itu berkembang, hal itu dibentuk sebagai suatu akibat dari bertambah kompleksnya interaksi dengan orang lain. 

Dengan mengamati reaksi dari orang-orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri, anak itu secara ideal mengembangkan suatu pola gambaran-gambaran diri yang konsisten, suatu keseluruhan yang terintegrasi dimana kemungkinan adanya beberapa ketidakharmonisan antara “diri” sebagaimana adanya, dan “diri” sebagaimana yang mungkin diinginkanya untuk menjadi diperkecil. 

Dalam individu yang sehat dan yang mengaktualisasikan–diri muncullah suatu pola yang  berkaitan. Akan tetapi, situasi itu menjadi berbeda untuk suatu individu yang mendapat gangguan emosional. Cara-cara khusus bagaimana “diri” itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak, tergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima anak itu dalam masa kecil. Penghargaan positif, merupakan suatu kebutuhan yang bisa memaksa dan merembes dimilki oleh semua manusia, setiap anak terdorong untuk mencari “penghargaan-positif.” Akan tetapi tidak setiap anak menemukan kepuasan yang cukup akan kebutuhan ini. Anak puas kalau dia menerima cinta, kasih sayang, dan persetujuan dari orang-orang lain (biasanya kedua orang tua, tamanya ibu). Sebaliknya, anak kecewa kalau dia menerima celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang.  

Pengertian-diri atau self-concept yang berkembang pada anak sangat dipengaruhi oleh ibu.  Anak mengharapkan bimbingan tingkah lakunya dari orang lain, bukan dari dirinya sendiri. Anak dalam situasi ini mengembangkan apa yang disebut Rogers penghargaan positif bersyarat atau conditional positive regard. Kasih sayang dan cinta yang diterima anak adalah cara terhadap tingkah lakunya yang baik. Karena anak mengembangkan penghargaan positif bersyarat maka dia akan menginternalisasikan sikap-sikap ibu. Jika hal itu terjadi, maka sikap ibu diambil oleh anak itu dan diterapkan kepada dirinya.

Misalnya, apabila ibu menyatakan celaan setiap saat karena anak menjatuhkan suatu benda dari tempat tidurnya, maka anak itu akhirnya mencela dirnya sendiri sewaktu-waktu dia bertingkah laku demikian. Standar-standar penilaian dari luar menjadi miliknya sendiri, dan anak itu menghukum dirinya sendiri hanya bila bertingkah laku menurut cara-cara yang diketahuinya disetujui oleh ibu. Dengan demikian diri anak yang terbentuk merupakan watak ibu. Karena keadaan yang menyedihkan ini dimana anak menerima penghargaan positif bersyarat, pertama-tama dari ibunya, kemudian dari dirinya maka syarat-syarat penghargaan menjadi berkembang. 

Ini berarti bahwa anak itu merasa suatu perasaan harga diri bisa muncul hanya dalam syarat-syarat tertentu. Anak itu harus menghindari tingkah laku atau pikiran dalam cara-cara yang menyebabkan celaan atau penolakan oleh standar-standar yang telah diambil anak itu dari ibu. Melaksanakan berbagai tingkah laku yang awalnya dilarang menyebabkan anak itu merasa salah dan tidak berharga, dengan syarat-syarat yang harus dilawan oleh anak itu. Dengan demikin sikap defensif menjadi bagian dari tingkah laku anak. Sikap tersebut akan muncul kembali sewaktu-waktu anak menghabisi kecemasan; misalnya sewaktu anak (atau kelak sebagai orang dewasa) tergoda untuk menampilkan tipe tingkah laku yang dilarang. Sebagai akibat dari sifat defensif ini, kebebasan individu terbatas, kodrat atau dirinya sejati tidak dapat diungkapkan sepenuhnya. 

“Diri” tidak dibiarkan untuk beraktualisasi sepenuhnya karena beberapa segi dari diri harus dicek. Syarat-syarat penghargaan berlaku seperti menutup mata kuda, hanya berjalan lurus, searah, menatap ke depan, kiasan ini memotong suatu bagian dari pengalaman yang semestinya diperoleh anak. Orang-orang dengan syarat-syarat penghargaan harus membatasi tingkah laku dan pikiran yang tidak pantas, namun dapat merasa terancam kalau mereka memamerkannya. Karena individu-individu ini tidak dapat berinteraksi sepenuhnya dan terbuka dengan lingkungan mereka, maka mereka mengembangkan apa yang disebut Rogers sebagai “ketidakharmonisan“ atau incongruence antara konsep-diri dan kenyataan yang  mengitari diri. 

Dengan kata lain, mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian-kepribadian yang sehat. Syarat uatama bagi timbulnya kepribadian sehat adalah penerimaan “penghargaan positif tanpa syarat“ atau uncoditional positive regard pada masa kecil. Hal ini berkembang apabila ibu memberikan cinta dan kasih sayang tanpa memperhatikan bagaimana anak bertingkah laku. Cinta dan kasih sayang yang diberikan dengan bebas ini dan sikap yang ditampilkan bagi anak itu, menjadi sekumpulan norma dan standar yang diinternalisasikan, sama seperti halnya sikap-sikap ibu yang memperlihatkan “penghargaan positif bersyarat” diinternalisasikan oleh anaknya. Rogers percaya bahwa ibu dapat mencela tingkah laku–tingkah laku tertentu tanpa pada saat yang sama menciptakan syarat-syarat dalam mana anak akan menerima cinta dan kasih sayang. 

Hal ini dapat dicapai dalam suatu situasi yang membantu anak menerima beberapa tingkah laku yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkannya merasa salah dan tidak berharga setelah melakukan tingkah laku tersebut. Anak yang tumbuh dengan perasaan “penghargaan positif tanpa syarat“ tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan. Jika syarat penghargaan tidak ada maka tidak ada kebutuhan bertingkah laku defensif. Untuk orang yang demikian, tidak ada pengalaman-pengalaman sepele yang mengancam. Dia dapat mengambil bagian dalam kehidupan dengan bebas dan sepenuhnya.

Orang tersebut bebas untuk menjadi orang yang mengaktualisasikan diri, untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dan segera setelah proses aktualisasi diri mulai berlangsung, orang itu dapat maju ke tujuan terakhir, yakni menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. 

B. Peranan Positive Regard dalam Pembentukan Kepribadian Individu 

Menurut Rogers (dalam Boeree 2013), setiap organisme pada dasarnya tahu apa yang baik bagi mereka. Ketika lapar kita mencari makanan, tidak hanya sekedar makanan tetapi makanan yang bercitarasa enak. Makanan yang terasa tidak enak mungkin buruk, busuk, dan tidak sehat, seperti itulah apa yang terasa enak dan tidak enak menurut penilaian selera kita. Inilah yang disebut penilaian organismik (organismic valuing). 

Diantara banyak hal yang kita nilai sendiri adalah penghargaan positif (positive regard) istilah utama Rogers untuk hal-hal seperti cinta, kasih sayang, perhatian, pengasuhan, dan seterusnya. Hal lain yang dinilai adalah positif self-regard, yaitu penilaian positif erhadap diri, penghargaan diri, sebuah citra diri yang positif. Kita mencapai positif self-regard ini dengan mengalami sikap positif yang ditunjukkan orang lain kepada kita selama bertahun-tahun perkembangan kita. Tanpa self-regard ini, kita merasa kecil dan tidak ada yang menolong. Selain itu, kita gagal menjadi apapun yang kita wujudkan. Masyarakat juga menyebakan kita tersesat bersama condition of worth (kondisi-kondisi yang bermanfaat). 

Ketika kita bertumbuh kembang, orang tua, para guru, kelompok inti, media dan orang-orang lain hanya memberi kita apa yang kita butuhkan jika kita “layak” mendapatkannya, bukan hanya karena kita membutuhkannya. Kita mendapatkan minuman ketika kita mengakhiri kelas kita, kita mendapatkan sesuatu yang manis ketika kita menghabiskan sayur-sayuran kita dan yang paling penting, kita mendapatkan cinta dan kasih sayang jika dan hanya jika kita berbuat baik. Mendapatkan sikap positif berdasarkan “syarat“ tersebut disebut Rogers sebagai conditional positive regard (penghargaan positif yang bersifat condisional). Karena kita betul-betul membutuhkan sikap positif, syarat-syarat ini sangat kuat dan kita membelokkan diri kita kesebuah bentuk yang telah ditentukan, bukan lantaran organismik valuing atau kecenderungan aktualisasi kita, tetapi lantaran sebuah masyarakat yang mungkin betul-betul memiliki perhatian terbaik pada kita. 

Pensyaratan seperti ini sering kali membuat kita memiliki conditional positive self-regard juga. Kita mulai menyukai diri kita hanya ketika kita menemui standar-standar yang diterapkan orang lain atas kita, bukan karena kita betul-betul mengaktualisasikan potensi-potensi kita. Karena standar-standar ini diciptakan tanpa melihat setiap individu, kita lebih sering menemukan diri kita merasa tidak mampu memenuhinya, sehingga kitapun tidak mampu mempertahankan sedikitpun penilaian positif atas diri kita sendiri. Aspek keberadaan seseorang yang didasarkan pada kecenderungan aktualisasi, yang mengikuti penilaian organis, kebutuhan dan penerimaan akan pertimbangan positif dan pertimbangan terhadap diri sendiri disebut Rogers dengan diri sejati (real-self). 

Dilain pihak, karena keinginan masyarakat hal itu sering tidak selaras dengan kecenderungan aktualisasi kita, dan didesak hidup dengan syarat-syarat kepatuhan yang berada diluar penilaian organis kita sendiri, serta hanya menerima pertimbangan diri positif condisional (conditional positive self-regard) dan pertimbangan terhadap diri sendiri, sehingga diri kitapun akan berkembang mejadi diri ideal (ideal-self ).  Apa yang dimaksud Rogers dengan ideal disini adalah sesuatu yang tidak real, sesuatu yang tidak akan pernah dicapai, standar-standar yang tidak akan kita penuhi. 


C. Ciri-Ciri Orang yang Berfungsi Sepenuhnya 

Menurut Rogers(dalam Baihaqi, 2008) ada lima sifat yang berfungsi sepenuhnya, yaitu: 

1. Adanya keterbukaan pada pengalaman 

Seseorang yang tidak terhambat oleh syarat-syarat penghargaan, bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap. Tidak satupun yang harus dilawan karena tak ada satupun yang mengancam. Jadi, keterbukaan pada pengalaman adalah lawan dari sikap defensif. Setiap pendirian dan perasaan yang berasal dari dalam dan dari luar disampaikan ke sistem saraf organisme tanpa distorsi atau rintangan. 

Orang yang demikian mengetahui segala sesuatu tentang kodratnya, dan tidak ada segi kepribadian tertutup. Hal ini berarti bahwa kepribadian adalah fleksibel, tidak hanya menerima pengalaman-pengalaman yang diberikan oleh kehidupan, tetapi juga dapat menggunakannya dalam membuka kesempatan-kesempatan persepsi dan ungkapan baru. Sebaliknya,  kepribadian orang defensif, yang beroperasi menurut syarat-syarat penghargaan adalah statis, bersembunyi dibelakang peranan-peranan, tidak dapat menerima atau bahkan mengetahui pengalaman–pengalaman tertentu. 


2. Berada dalam kehidupan eksistensial

Rogers percaya bahwa kualitas dari kehidupan eksistensial ini merupakan segi yang sangat eksensial dari kepribadian yang sehat. Kepribadian terbuka kepada segala sesuatu yang terjadi pada momen dan dia menemukan dalam setiap pengalaman suatu struktur yang dapat berubah dengan mudah sebagai respon atas pengalaman momen yang berikutnya. 

3. Adanya kepercayaan terhadap organisme diri sendiri 

Prinsip ini mungkin paling baik dipahami dengan menuju kepada pengalaman Rogers sendiri. Dia menyatakan, “apabila suatu aktifitas terasa seakan-akan berharga atau perlu dilakukan, maka aktivitas itu perlu dilakukan. Sebaliknya, jika suatu aktifitas terasa tak ada makna dan tak berarti, maka aktivitas itu tak perlu diteruskan. Saya telah belajar bahwa seluruh perasaan organismik saya terhadap suatu situasi lebih dapat dipercaya dari pada pikiran saya”. Bertingkah laku menurut apa yang dirasakan benar, merupakan pedoman yang sangat dapat diandalkan dalam memutuskan suatu tindakan, lebih dapat diandalkan dari pada faktor-faktor rasional aatu intelektual. 

4. Memilki perasaan bebas 

Rogers percaya semakin seseorang sehat secara psikologis, maka semakin ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak tidak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan anatara alternatif pikiran dan tindakan.

5. Senantiasa kreatif 

Semua orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kreatif. Mengingat sifat-sifat lain yang mereka miliki, sukar untuk melihat bagaimana seandainya kalau orang ini tidak demikian kreatif. Menurut Rogers (dalam Baihaqi, 2008), orang-orang yang terluka sepenuhnya kepada semua pengalaman, yang percaya akan organisme mereka sendiri, yang fleksibel dalam keputusan dan tindakannya, ialah orang-orang yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif, serta kehidupan yang kreatif dalam semua bidang kehidupannya. Orang-orang yang kreatif dan spontan tidak terkenal karena konformitas atau penyesuaian diri yang pasif terhadap tekanan-tekanan sosial dan kultural.

D. Ciri Individu Islam  

Menurut Hasan al-Banna (dalam khalifasholihin wordpress.com) ada sepuluh ciri-ciri pribadi muslim, yaitu:

1. Salimul Aqidah

Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam” (QS. al-An’am: 162)

2. Shahihul Ibadah

Ibadah yang benar (Shahihul Ibadah) merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting, dalam satu haditsnya beliau mengatakan: “sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat”. Dari ungkapan ini, disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.

3. Matinul Khuluq

Aklak yang kukuh atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun hubungannya dengan makhluk-makhluk-Nya. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Qs. al-Qalam: 4).

4. Qowiyyul Jismi

Kekuatan jasmani merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Rasulullah SAW bersab da yang artinya: “Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah” (HR. Muslim).

5. Mutsaqqoful Fikri

Intelek dalam berfikir merupakan salah satu pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fathonah (cerdas) dan al-Quran banyak mengungkap ayat-ayat yang menstimuli manusia untuk berfikir, salah satunya firman Allah SWT: “Mereka bertanya kepadamu tentang  khamar dan judi. Katakanlah: ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besa dari manfaatnya.’ Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanla: ‘yang lebih dari keperluan.’ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir” (Qs. al-Baqarah: 219)

6. Mujahadatun Linafsihi

Berjuang melawan hawa nafsu merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecendrungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk sangat menuntut  adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada dengan seseorang itu berjuang melawan hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda: “tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam). HR. Hakim

7. Harishun ‘ala Waqtihi

Pandai menjaga waktu merupakan factor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah dalam al-Quran dengan menyebut nama waktu, seperti wal fajri, wadduhaa, wal ashri, wallayli dan sebagainya. 

Nabi SAW menyinggung tentang memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin. 

8. Munazhzhamun fi Syu’unihi

Teratur dalam suatu urusan termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh al-Quran maupun Sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam baik yang terkait dengan masalah ubudiyyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika sutu urusan ditanganan secara bersama-sama, maka diharuskan bekerja sama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepada-Nya. 

9. Qodirun ‘ala Kasbi

Memiliki kemampuan usaha sendiri atau mandiri merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian seorang muslim dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rezki dari Allah SWT, karena rezki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill  atau keterampilan.

10. Naafi’un Lighoirihi

Bermanfaat bagi orang lain merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik, sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal mungkin untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu. 

Sehingga jangan sampai seorang muslim tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakat. Rasulullah SAW bersabda: ”sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. HR. Qudhy dari Jabir


DAFTAR PUSTAKA


Baihaqi, MIF. 2008. Psikologi Pertumbuhan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Boeree, George. 2013. General Psychology. Jogjakarta: Prismasophie.

https://khalifasholihin.wordpress.com/2011/11/26/10-ciri-ciri-peribadi-muslim-hasan-al-banna

Perkembangan (Faktor, Pengaruh, dan Perkembangan Kognitif)

A. Faktor-faktor Perkembangan

Para ahli berbeda pendapat tentang faktor mana yang lebih dominan pengaruhnya terhadap seseorang dalam perkembangannya, apakah pembawaan ataukah lingkungan. Untuk menjawabnya, dalam hal ini pendapat mereka tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Aliran/ golongan Nativisme

Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaan sejak lahir. Mereka mengemukakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dibekali (membawa) bakat-bakat yang berasal dari generasi sebelumnya, apabila pembawaan itu baik maka akan baik pula anak itu kelak, demikian juga sebaliknya. Menurut anggapan aliran ini, segala pengaruh lingkungan atau pendidikan tidaklah berarti apa-apa, karena segala bakat atau pembawaan itu akan berkembang dengan sendirinya tanpa dapat dirubah, sehingga pendidikan tidak perlu (pesimisme pendagogis).

Manshur Ali Rajab (1961) menyebutkan bahwa ada lima macam yang dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya, yaitu; pertama, pewarisan yang bersifat jasmaniah; kedua pewarisan yang bersifat intelektual; ketiga, pewarisan yang bersifat tingkah laku; keempat, pewarisan yang bersifa alamiah; dan kelima, pewarisan yang bersifat sosiologis. Tokoh terkemuka aliran ini adalah Schopenhauer (1788-1860), Plato, Descartes dan beberapa ahli tokoh yang mendukungnya yaitu Lambroso, E. Ferri dan R. Garofalo.


2. Aliran/ golongan Empirisme

Pendapat empirisme merupakan kebalikan dari Nativisme yakni bahwa perkembagan manusia itu lebih banyak dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungannya (paedagigis), kata Watson (seorang tokoh behavioris AS) “Beri saya sejumlah anak, akan saya jadikan dokter, ahli hokum dan lain-lain, bahkan pengemis dan pencuri sekalipun. Asumsi psikologis yang mendasari aliran ini adalah bahwa manusia lahir dalam kondisi netral, tidak membawa potensi apapun, ia bagaikan kertas putih (tabula rasa; meja dari lilin) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki oleh lingkungannya.

Lingkungan yang mempengaruhi tingkah laku terdiri dari lima aspek, yaitu (1) geografis/ alamiah yakni lingkungan berdasarkan letak wilayah seperti di dataran, pegunungan, atau pesisir pantai. (2) Lingkungan historis yaitu lingkungan yang ditentukan oleh keadaan suatu masa atau era dengan segala perkembangan keberadabannya. (3) Lingkungan sosiologis yaitu lingkungan yang ditentukan oleh hubungan antar individu dalam suatu komunikasi social. (4) Lingkungan kultural, yaitu lingkungan yang ditentukan oleh kultur suatu masyarakat. (5) Lingkungan psikologis adalah lingkungan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan, seperti kondisi rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran, kemerdekaan, keamanan, kesejahteraan dan sebagainya (M. Mahmud: 1984). Tokoh aliran ini adalah John Locke dan diperkuat oleh Sigaud dan Mac Aulife.


3. Aliran/ golongan Konvergensi

Aliran ini menganggap bahwa perkembangan manusia ditentukan oleh pembaawaan dan lingkungan. Aliran yang ketiga ini berusaha mengambil jalan tengah antara kedua pendapat di atas, yang mana dalam dunia pendidikan bahkan dalam kehidupan secara keseluruhan tidak pernah ada manusia yang dalam proses perkembangan menuju kedewasaan/ kematangan hanya ditentukan oleh factor keturunan atau oleh factor lingkungan saja.

Bakat saja tanpa adanya pengaruh lingkungan yang cocok dalam perkembangan anak belumlah cukup, demikian pula lingkungan yang baik tetapi tidak sesuai dengan bakat yang dimiliki anak juga tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Tokoh konvergensi ini ialah William Sterm, dan disempurnakan oleh M. J. Langeveld. (Rohmah, 2015: 93-96)

Kalau dilihat dari sudut pandangan Islam, yang diasumsikan dari struktur nafsani tidak lantas menerima ketiga aliran di atas. Disamping terdapat kelemahan-kelemahan, ketiga aliran tersebut hanya berorientasi teorinya pada pola pikir antroposentris, artinya perkembangan kepribadian manusia seakan-akan hanya dipengaruhi oleh factor manusiawi. Manusia dalam pandangan Islam telah memiliki seperangkat potensi, disposisi, dan karakteristik unik.

Potensi yang ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir itulah yang dinamakan fitrah, yakni keimanan, ketauhidan, keislaman, keselamatan, kesucian, kecenderungan menerima kebenaran dan kebaikan serta sifat lainnya. Semua potensi itu bukan diturunkan dari orang tua, melainkan diberikan oleh Allah Swt. sejak di alam perjanjian (mistq). Proses pemberian potensi-potensi itu melalui struktur rohani. Jadi secara potensial, kondisi kejiwaan manusia tidak netral, apalagi kosong seperti kertas putih, namun secara hukum manusia tidak memiliki kebaikan atau keburukan yang diwarisi, tapi sangat tergantung kepada realisasi dirinya.

Kesimpulannya dalam Islam faktor hereditas boleh jadi menjadi salah satu factor perkembangan. Hal ini tertera dalam hadits Nabi bahwa pemilihan jodoh itu harus dilihat dari empat segi, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama. Nabi kemudian mengajarkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah tangganya menjadi bahagia dan selamat. Peran lingkungan dalam penentuan proses perkembangan juga diakui dalam Islam. Banyak ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menjelaskan pentingnya peran lingkungan dalam proses perkembangan misalnya seruan amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran: 104), belajar menuntut ilmu agama lalu mendakwahkan pada orang lain (QS. At Taubah: 122), seruan kepada orang tua agar memelihara keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6) dan seterusnya.

Satu lagi factor penentu perkembangan manusia yaitu factor-faktor bawaan manusia itu sendiri yang dibawa sejak kelahirannya, yang ini sangat berkaitan dengan fitrah itu sendiri. Kesimpulan akhir bahwasannya jalan perkembangan manusia sedikit banyak ditentukan oleh pembawaan yang turun temurun yang oleh aktivitas dan pemilihan atau penentuanmanusia itu sendiri yang dilakukan dengan bebas di bawah pengaruh factor lingkungan yang tertentu berkembang menjadi sifat. Dan ternyata tiap-tiap sifat dan ciri-ciri manusia dalam perkembangannya ada yang lebih ditentukan oleh lingkungan nya dan ada pula yang lebih ditentukan oleh pembawaannya. (Rohmah, 2015: 97-100)

B. Pengaruh Perkembangan Individu

Menurut teori Bronfenbrenner, konteks sosial dimana individu hidup akan banyak mempengaruhi perkembangan individu. Ada tiga konteks yang mempengaruhi perkembangan individu :

1. Keluarga

Individu tumbuh dalam keluarga yang berbeda–beda. Beberapa orang tua mengasuh dan mendukung anak mereka. Orang tua lainnya bersikap kasar atau mengabaikan anaknya. Anak lainnya tinggal dalam keluarga yang tidak pernah bercerai. Beberapa keluarga anak hidup dalam kemiskinan, yang lainnya berkecukupan. Situasi yang bervariasi ini akan memengaruhi perkembangan anak dan memengaruhi murid di dalam dan di luar kelas (Cowan & Cowan, 2002; Morrison & Cooney, 2002 ). 

2. Teman Sebaya

Selain keluarga teman seusia atau sebaya (peer) juga memainkan peran penting dalam perkembangan individu. Dalam konteks perkembangan individu, teman seusia adalah anak pada usia yang sama atau level kedewasaan yang sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman seusia adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik mungkin dibutuhkan untuk perkembangan normal (Howes & Tonyan, 2000; Rubin, 2000).

Dalam sebuah studi, hubungan dengan teman sebaya yang buruk di masa kanak-kanak menyebabkan terjadinya drop-out dari sekolah dan tindak kejahatan diusia remaja (Roff, Sells & Golden, 1972). Dalam studi lain, hubungan teman sebaya yang harmonis diusia remaja menyebabkan kesehatan mental yang positif diusia paruh baya nanti (Hightower, 1990). 


Para developmentalis telah dengan tepat menunjukan empat tipe teman sebaya, yaitu: 

a. Anak populer

Anak populer sering kali didominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukannya tidak disukai oleh kawan seusianya.

b. Anak diabaikan (neglected children

Anak diabaikan jarang didominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukannya tidak disukai oleh kawan seusianya. 

c. Anak ditolak (rejected children)

Anak ditolak jarang didominasikan sebagai kawan terbaik dan sering dibenci oleh teman-teman seusianya.

d. Anak kontroversial (conrtoversial children)

Anak kontroversial sering kali didominasikan sebagai teman baik tapi juga kerap tidak disukai.


3. Sekolah 

Di sekolah, anak menghabiskan banyak waktu sebagai anggota dari masyarakat kecil yang sangat mempengaruhi perkembangan sosio emosional mereka. Konteks Perkembangan Sosial yang Terus Berubah di Sekolah. Konteks sekolah bervariasi sejak masa kanak-kanak awal, sekolah dasar hingga remaja (Minuchin & Shapiro, 1983). Setting masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan yang terlindung yang batas-batasnya adalah ruang kelas. Dalam setting sosial yang terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru, yang biasanya perempuan, yang menjadi figur utama dalam kehidupan mereka saat itu.

Saat anak masuk ke sekolah menengah pertama, lingkungan sekolah semakin luas bukan sekedar ruang kelas. Remaja berinteraksi dengan guru dan teman seusia yang makin beragam. Perilaku sosial remaja makin mengarah pada interaksi dengan teman, ekstrakurikuler, klub, dan komunitas. 

Murid sekolah menengah lebih menyadari sekolah sebagai sistem sosial dan mungkin termotivasi untuk menyesuaikan diri dengannya atau menentangnya. (Santrock, 2004: 90-103)


C. Perkembangan Kognitif Individu

1. Otak

Jumlah dan ukuran saraf otak terus bertambah setidaknya sampai usia remaja. Beberapa penambahan ukuran otak juga disebabkan oleh myelination, sebuah proses dimana banyak sel otak dan sistem saraf diselimuti oleh lapisan-lapisan sel lemak yang bersekat-sekat. Myelination dalam daerah otak yang berhubungan dengan koordinsi mata-tangan belum lengkap sampai usia empat tahun. Myelination dalam area otak yang penting dalam memfokuskan perhatian belum lengkap sampai akhir usia sekolah dasar (Tanner, 1978).

Aspek penting lain dari perkembangan otak di tingkat sel adalah peningkatan dramatis dalam koneksi antara neuron (sel-sel saraf) (Ramey & Ramey, 2000). Dalam studi terbaru yang menggunakan teknik pemindaian (scanning) otak yang canggih, otak anak-anak tampak mengalami perubahan anatomis yang substansial antara usia tiga sampai lima belas tahun (Thompson dkk., 2000).

2. Teori Piaget

Proses Kognitif. Dalam memahami dunia mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema (kerangka kognitif atau kerangka referensi). Sebuah skema adalah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran individu yang dipakai untuk mengorganisasikan dan menginterprestasikan informasi.

Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua proses yang bertanggung jawab atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika seorang anak memasukan pengetahuan baru kedalm pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika menyesuaikan diri pada informasi baru.

Piaget juga mengatakan bahwa untuk memahami dunianya, anak-anak secara kognitif mengorganisasikan pengalaman mereka. Organisasi adalah konsep Piaget yang berarti usaha mengelompokan perilaku yang terpisah-pisah kedalam urutan yang lebih teratur, kedalam sistem fungsi kognitif. Ekuilibrasi adalah suatu mekanisme yang di kemukakan Piaget untuk menjelaskan sebagaimana anak bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya.

3. Teori Vygotsky

Seperti Piaget, Vygotsky (1896-1934) dari Rusia juga percaya bahwa anak akhir dalam menyusun pengetahuan mereka.

a. Asumsi Vygotsky

Ada tiga klaim dalam inti pandangan Vygotsky (Tappan,1998): (1) keahlian kognitif anak dapat dipahami apabila dianalisis dan diinterprestasikan secara developmental; (2) kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa, dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasi aktivitas mental; dan (3) kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.

Menurut Vygotsky, menggunakan pendekatan developmental  berarti memahami fungsi kognitif anak dengan memeriksa asal usulnya dan transformasinya dari bentuk awal ke bentuk selanjutnya. Jadi, tindakan mental tertentu seperti menggunakan “ucapan batin” (inner speech) tidak bisa dilihat dengan tepat secara tersendiri tetapi harus di evaluasi sebagai satu langkah dalam proses perkembangan bertahap.

Klaim kedua Vygotsky, yakni untuk memahami fungsi kognitif kita harus memeriksa alat yang memperantarai dan membentuknya, membuat Vygotsky percaya bahwa bahasa adalah alat yang paling penting (Robbins, 2001). Klaim ketiga Vygotsky, mengatakan bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan culture. Vygotsy mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural (Holland, dkk.,2001)

b. Zone of Proksimal Development

Zone of Proksimal Develpment (ZPD) adalah istilah  Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian tetapi dapat dipelajari dengan bantuan dari orang dewasa atau anak yang lebih mampu.

c. Scaffolding

Adalah sebuah teknik untuk mengubah level dukungan. Selama sesi pengajaran, orang yang lebih ahli menyesuaikan juumlah bimbingannya dengan level kinerja murid yang telah dicapai.

d. Bahasa dan Pemikiran

Vygotsky (1962) percaya bahwa anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk merencanakan, memonitor perilaku mereka dengan caranya sendiri. Bahasa itu digunakan untuk mengatur diri sendiri yang dinamakan “pembicaraan batin” (inner speech) atau “pembicaraan privat” (privat speech). 

e. Mengevaluasi dan Membandingkan Teori Piaget dan Vygotsky

Pengetahuan akan teori Vygotsky datang lebih belakangan ketimbang teori Piaget, sehingga teori Vygosky belum dievaluasi secara menyeluruh. Akan tetapi, teorinya sudah dianut oleh banyak guru dan berhasil diterapkan untuk pendidikan (Doolittle, 1997). (Santrock, 2004: 43-65)

Sabtu, 11 September 2021

Human's Intelligen

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecerdasan dalam bahasa Inggris sama dengan Intelligence. Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan IQ, EQ, AQ, dan SQ pada otak?

2. Apa yang dimaksud dengan modalitas belajar?

3. Apa yang dimaksud dengan gaya berpikir?

4. Bagaimana dominasi otak pada manusia?

5. Apa yang dimaksud dengan Kecerdasan ganda?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu IQ, EQ, AQ, dan SQ pada otak

2. Untuk mengetahui apa itu modalitas belajar

3. Untuk mengetahui apa itu gaya berpikir

4. Untuk mengetahui dominasi otak pada manusia

5. Untuk mengetahui apa itu kecerdasan ganda


BAB II

PEMBAHASAN

A. IQ, EQ, AQ dan SQ pada Otak

Intellegent Qoutient (IQ)

Kecerdasan dalam bahasa Inggris sama dengan Intelligence. Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.  IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional.

Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)

Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa “kata emosi secara sederhana bisa didefinisikan sebagai menetepkan ‘gerakan’ baik secara metafora maupun harfiah, untuk mengeluarkan perasaaan”. Dalam makna paling harfiah, Goleman mengambil definisi dari Oxford English Dictionary bahwa emosi adalah “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. 

Ada beberapa definisi kecerdasan emosional atau EQ (Emotional Quotient), diantaranya:

Menurut Salovey dan Mayer yang dikutip oleh Muhammad Yasin, mengatakan bahwa: Emotional Quotient merupakan himpunan bagian dari kecerdasan social yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Menurut Dvis seperti yang dikutip dari Satiadarma oleh Nur Efendi menjelaskan pengertian Emotional Quotient adalah “kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta berperilaku seseorang”.

Menurut Stein dan Book yang dikutip oleh Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa: EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit, mencakup aspek pribadi, social, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari.

 Menurut Yusuf Musthofa kecerdasan emosional adalah “kemampuan seseorang dalam mengendalikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap yang didasarkan pada pikiran yang sehat”.

Sedangkan menurut Daniel Goleman, kecerdaan emosional (Emotional Quotient) atau EQ merupakan “kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.

Berangkat dari berbagai definisi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan seseorang dalam mengenali dan memotivasi diri sendiri, mengelola dan mengendalikan emosi, membimbing pikiran dan tindakan dengan baik dalam hubungannya dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

Adversity Quotient (AQ)

Istilah Adversity Quotient diambil dari konsep yang dikembangkan oleh Paul G. Stoltz, Ph.D, presiden PEAK Leraning, Inc. Seorang konsultan di dunia kerja dan pendidikan berbasis skill (Stoltz, 2000). Konsep kecerdasan (IQ dan EQ) telah ada saat ini dianggap belum cukup untuk menjadi modal seseorang menuju kesuksesan, oleh karena itu Stoltz kemudian mengembangkan sebuah konsep mengenai kecerdasan adversity. Adversity dalam kamus bahasa Inggris berarti kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan quotient diartikan sebagai kemampuan atau kecerdasan. Sedangkan menurut Stoltz, Adversity Quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan (Stoltz, 2000).

Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Sebelum memahami tentang kecerdasan spiritual, perlu dejelaskan terlebih dulu mengenai arti kata spiritual itu sendiri. Dalam hal ini, Aliah B. Purwakania menjelaskan bahwa: Menurut kamus Webster kata “spirit” berasal dari kata benda bahasa Latin “spiritus” yang berarti untuk bernapas. Melihat asal katanya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memilikiki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.

Aliah B. Purwakania juga mengatakan bahwa “spirit merupakan diri yang sesungguhnya di dalam diri manusia yang telah ada sebelum kelahiran”. Dengan demikian, “sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia”. Adapun mengenai pengertian kecerdasan spiritual, Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual seperti yang dikutip oleh Ary Ginanjar adalah “kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam kontekas makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain”.


B. Modalitas Belajar

Dari semua indera, yang paling aktif hanya tiga, yaitu: Visual system, auditory system, dan haptic system atau lebih dikenal sebagai kinestetik system. De Porter dan Hernacki percaya bahwa dari ketiga jenis indera inilah gaya belajar seseorang dibentuk. Modalitas belajar menunjuk pada indera mana yang paling efektif dalam proses belajar seseorang dalam memahami dunia sekitar. Ketiga-tiganya akan dikembangkan oleh setiap manusia, namun biasanya akan ada satu indera yang paling dominan dibandingkan yang lain. Indera dominan tadi yang menentukan cara belajar yang paling efektif. 

Visual System

Orang dengan modalitas visual yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera mata. Dalam bentuk gambar, tulisan, atau apapun media yang terlihat. Ketika berimajinasi, lebih mudah membayangkan bentuk dibandingkan modalitas lain.

Auditory System

Orang dengan modalitas auditory yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera telinga. Dalam bentuk suara, musik atau sejenisnya.

Kinestetik System

Orang dengan modalitas kinestetik yang dominan, akan belajar paling efektif melalui indera kulit. Dalam bentuk rabaan, percobaan langsung, gerakan, dan sejenisnya. Ketika berimajinasi, lebih mudah membayangkan interaksi fisik dibandingkan modalitas yang lain. 


C. Gaya Berpikir

Pada dasarnya gaya berpikir (Style of Thinking) hanya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu auditory learner dan visual learner. Auditory learner adalah gaya berpikir yang lebih didasarkan pada pemrosesan informasi melalui pendengaran (auditory). Visual learner adalah lebih didasarkan pada pemrosesan melalui penglihatan (visual). Pada anak-anak cerdas istimewa digunakan istilah visual spatial learner, yang artinya bahwa seorang anak cerdas istimewa melakukan pemrosesan informasi bukan hanya melalui penglihatannya saja, namun ia juga menggunakan kekuatan lain yang ada padanya, yaitu kemampuan pandang ruang yang tinggi (kemampuan dimensi) yang disebut sebagai kemampuan spatial.

Cara Berpikir Auditory Learner VS Visual Spatial Learner

Saat anak baru dilahirkan ia akan menjadi anak yang lebih kepada visual learner daripada auditory learner. Pada saat baru dilahirkan ia lebih didominasi oleh belahan otak sebelah kanan. Ia belajar menerima informasi lebih secara visual. Apa yang diterima secara visual (penglihatan) ini kemudian dilakukan pemrosesan di dalam otak sebagai sebuah informasi. Kelak saat mana anak-anak ini sudah bisa berbicara dengan baik, yaitu sekitar usia 5 – 6 tahun, maka cara penerimaan itu akan berubah, ia menjadi anak yang lebih pada auditory learner. Perubahan ini adalah sebagai akibat dari berubahnya dominasi otak, yang semula dominasi lebih kepada dominasi belahan otak kanan (yang mengatur kemampuan visual), kini dominasi berpindah ke belahan otak yang mengatur auditory (pendengaran).

Kekuatan Auditory  Learner VS  Kekuatan Visual Learner

Anak-anak yang auditory learner akan lebih baik menerima informasi melalui bentuk suara. Misalnya dalam pemberian pelajaran di kelas, anak-anak yang auditory learner ini justru akan menangkap sangat baik saat mana guru menjelaskan secara verbal. Sementara itu anak-anak visual learner akan lebih baik menerima informasi melalui penyajian visual, seperti gambar-gambar, film, grafik, denah, tabel, peta, dan sebagainya.  

Kesadaran akan Waktu VS Kesadaran akan Ruang 

Manajemen waktu, seperti jam berapa harus bangun, mandi berpakaian, makan, gosok gigi, berangkat sekolah secara tepat waktu adalah suatu manajemen yang nyaman bagi anak-anak auditory learner. Sebaliknya anak-anak visual spatial learner lebih kuat dalam kesadaran akan ruang. Anak-anak ini sangat kuat ingatannya akan tata ruang, lingkungan, peta, dan tidak mudah tersasar di tempat keramaian. Bahkan ia sangat kuat mengingat tempat-tempat yang pernah dikunjunginya

Detail  VS  Gambaran Global 

Seorang anak auditory learner adalah seseorang yang kuat dalam kemampuan melihat secara detail, lalu menyusunnya secara teratur. Karena itu anak-anak ini akan berprestasi dengan baik saat menempuh pelajaran. Ia bisa melihat secara detail jadwal atau skedul pelajaran, dapat mengikuti urutan waktu, dapat mendengarkan dan menerima perintah verbal secara baik, dan dapat menyampaikan/memproduksi kembali apa yang diterimanya.  

Perintah secara Verbal  VS  Memberikan Bentuk Gambar 

Kedua kelompok, antara anak-anak auditory learner dan visual spatial learner, mempunyai cara penerimaan pembelajaran yang sungguh berbeda. Bila anak-anak auditory learner sangat senang mendengarkan penjelasan secara verbal, dan juga mudah menangkap pemahamannya, maka pada anak visual spatial learner akan lebih mudah jika mendapatkan penjelasan dan perintah dalam bentuk gambar.  .

Komputasi VS Pemecahan Masalah dalam Matematika

Seorang anak auditory learner akan lebih mudah menerima pelajaran yang tahap pertahap, dari yang mudah ke yang sulit. Dengan demikian, pada pelajaran-pelajaran matematika ia akan lebih mudah mempelajari yang mempunyai tahapan jelas dan bersifat komputasi, misalnya aritmatika dan aljabar. Namun pada ilmu matematika tinggi yang membutuhkan kemampuan pandang ruang, akan sulit diikuti oleh kelompok anak auditory learner.

Handal dalam Mengucapkan Kata-kata VS Kesulitan Mengeja 

Anak-anak auditory learner adalah anak-anak yang sangat handal dalam berkemampuan pencandraan auditif (pendengaran), sehingga ia akan dengan mudah mengeja kembali katakata yang diucapkan guru. Ia akan sangat berprestasi dalam pelajaran imla/dikte. Sebaliknya anak-anak visual spatial learner akan sangat kesulitan dalam pelajaran imla/dikte, terlebih pada kata-kata yang abstrak tidak ada bentuknya jika dibayangkan. 

Pintar Mengulang Hapalan VS Mendahulukan Berpikir Konsep Melihat Hubungan 

Seorang anak visual spatial learner merupakan anak yang mendahulukan cara berpikir konsep, hubungan, sebab-akibat, melakukan pemecahan masalah, dan mencari solusinya. Ia akan mengalami kesulitan pada pelajaran-pelajaran yang lebih kepada mendahulukan kemampuan hapalan, dan mengulangnya kembali. Sebaliknya seorang anak auditory learner lebih mudah menghapal urutan-urutan angka, tahapan-tahapan pekerjaan, dan sangat handal mendengarkan penjelasan verbal serta mengulangnya kembali.  

 Auditory Short-Term Memory VS Visual Long-Term Memory

Masuknya informasi ke dalam otak, mempunyai dua jalan. Pertama melalui jalur pendengaran, dan yang kedua adalah melalui jalur penglihatan. Pada anak-anak auditory learner jalur informasi yang digunakan adalah jalur pendengaran. Informasi ini akan masuk ke meori jangka pendek (short term memory). Sedangkan anak-anak visual spatial learner jika dengan cara ini, ia selain merasa kesulitan, terlalu lelah, baginya menjemukan, data yang disimpan dalam memory jangka pendek itu juga tidak akan bertahan lama. Ia cepat kembali lupa lagi. 

Pengulangan-pengulangan dan Drilling VS Gambaran Permanen 

Cara seorang anak belajar, awalnya adalah memang melalui mengetahui sesuatu, lalu menginat hal sesuatu, dan kemudian dapat menyebutkannya kembali. Tahap selanjutnya adalah apa yang sudah diketahuinya itu dapat diaplikasikan untuk kepentingan tertentu sesuai dengan konteksnya. Namun untuk anak-anak visual spatial learner yang memang mempunyai kelemahan dalam memori jangka pendek, ia akan mengalami kesulitan dan kelelahan yang menyebabkan dirinya mengalami tekanan, yangberakibat adalah justru ia tidak bisa lagi melakukan kegiatan menghapal tersebut.

Belajar dari Instruksi VS Membangun Cara-caranya Sendiri

Seorang anak visual spatial learner adalah anak yang sangat sulit untuk didikte atau diperintah. Ia belajar akan sesuatu dari berdasarkan hasil uji-cobanya. Ia adalah seorang anak yang penuh kreativitas dalam mencari upaya pemecahan masalah. Berbeda dengan anak auditory learner, yang akan dengan tertib mendengarkan bagaimana cara kerja mainan barunya. Secara bertahap ia akan mengikuti cara pemakaian atau cara bermain yang ia pelajari dari instruksi yang diberikan. Anak-anak auditory learner  dalam hal ini adalah anak yang menyenangkan karena selalu menurut dan mengikuti instruksi serta peraturan.  

Berpikir Konvergen VS Berpikir Divergen 

Berpikir konvergen adalah cara berpikir ke arah yang sempit atau ke arah mengecil. Dari global ke arah detail. Berpikir divergen adalah berpikir dari yang kecil ke arah yang luas. Dari yang detail ke arah yang global. Dua gaya berpikir ini, berpikir konvergen (auditory learner) dan berpikir divergen (visual spatial learner), adalah dua gaya berpikir yang sangat bertentangan. Apabila dalam suatu rapat, mayoritas populasi sesungguhnya adalah auditory learner, maka seseorang yang mempunyai gaya berpikir visual spatial learner ini akan sangat frustrasi. Karena populasi rapat justru hanya akan membicarakan hal-hal yang detil, kadang terjebak dalam pembicaraan yang detil itu.

Memisahkan antara Belajar dan Emosi VS Emosi Mempengaruhi Kegiatan Belajar

 Seorang anak auditory learner adalah seorang anak yang dapat melupakan sejenak kemarahannya jika ia harus belajar.  Ia dapat memisahkan antara waktu untuk berpikir mengerjakan tugas belajar dan memikirkan masalah yang membuatnya marah. Sedang anak visual spatial learner adalah anak-anak yang tidak bisa meninggalkan kemarahannya saat mana ia harus belajar. Sehingga situasi belajar akan diwarnai dengan situasi hatinya. 

Perbedaan ini disebabkan oleh faktor perkembangan dominasi belahan otak masing-masing. Anak-anak auditory learner yang memang didominasi oleh belahan otak kiri, ia akan dapat dengan mudah memisahkan antara emosi dan kegiatan belajar. Sedang anak-anak visual spatial learner, yang didominasi oleh belahan otak  kanan.


D. Dominasi Otak

Otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari dan melukis.

Sedangkan otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Bagian otak ini merupakan pengendali Intelligence Quotient (IQ). Daya ingat otak ini juga bersifat jangka pendek. Dominasi otak berarti tidak sepenuhnya bahwa kita akan hanya menggunakan salah satu otak kita secara keseluruhan, karena belahan otak kita saling bersinergi satu sama lain, meskipun berbeda fungsinya.

Cara sederhana untuk mengetahui dominasi otak yang sering berperan dalam otak kita bisa dengan cara:

Kita ambil selembar kertas dan buat lubang kecil saja (sebesar uang koin). Setelah itu kita melihat suatu objek (bisa melihat salah satu tombol keyboard, nomor di kalender atau sebagainya, yang intinya objek tersebut tidak terlalu besar ukurannya). Setelah itu coba anda lihat objek yang anda tentukan tadi melalui lubang kertas dengan menutup mata secara bergantian. Bila anda dapat melihat objek tersebut dengan mata sebelah kiri, maka anda lebih dominan menggunakan otak kanan, demikian sebaliknya.

Seseorang yang dominan belahan kiri, biasanya akan :

Memilih sesuatu yang berurutan

Belajar lebih baik dari bagian-bagian kemudian keseluruhan

Lebih memilih sistem membaca fonetik

Menyukai kata-kata simbol dan huruf

Lebih memilih instruksi yang berurutan secara detail

Menginginkan struktur dan prediksi

Seseorang yang dominan belahan kanan biasanya akan:

Merasa lebih nyaman dengan sesuatu yang acak

Paling baik belajar dari keseluruhan kemudian bagian-bagian

Menyukai gambar, grafik, dan diagram

Mau berbagi informasi tentang hubungan antara segala sesuatu

Menginginkan pendekatan yang tak terbatas, baru dan mengejutkan.


E. Kecerdasan Ganda

Multiple intelegensi adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang efektif atau bernilai dalam satu latar belakang budaya tertentu. Artinya, setiap orang jika dihadapkan pada satu masalah, ia memiliki sejumlah kemampua untuk memecahkan masalah yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Menurut Gardner kecerdasan atau intelegensi ada sepuluh macam, diantaranya:

Kecerdasan linguistic (Linguistic Intelligence)

Adalah kemampuan untuk untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang komplek, yang meliputi kemampuan membaca, mendengar, menulis, dan berbicara.

Intelegensi logis-matematis (Logical matematich)

Adalah kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematika.

Intelegensi musik (Musical Intelligence)

Adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan sensitivitas pada pola titk nada, melodi, ritme, dan nada.

Intelegensi kinestetik

Adalah belajar melalui tindakan dan pengalaman melalui panca indera. Intelegensi kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh 

atau pikiran untuk menyempurnakan pementasan fisik.

Intelegensi visual-spasial

Merupakan kemampuan yang memungkinkan memvisualisasikan informasi dan mensitesis data-data dan konsep-konsep ke dalam metavor visual.

Intelegensi interpersonal

Adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang lain dilihat dari perbedaan, temperamen, motivasi dan kemampuan.

Intelegensi intrapersonal

Adalah kemampuan sesorang untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan dan sistem emosionalyang muncul secara nyata pada pekerjaannya. 

Intelegensi naturalis

Adalah kemampuan untuk mengenal flora dan fauna, melakukan pemilahan-pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara produktif.

 Intelegensi emosional

Adalah yang dapat membuat orang bisa mengingat, memperhatikan, belajar dan membuat keputusan yang jernih tanpa keterlibatan emosi.

Intelegensi spiritual

Adalah kemampuan yang berhubungan dengan pengakuan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya.


BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Banyak para tokoh yang mendefinisikan tentang Intelligence (kecerdasan). Seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno dari Feldam mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan memahami dunia, berfikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada saat dihadapkan dengan tantangan”. Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar.

Otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari dan melukis. Sedangkan otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Bagian otak ini merupakan pengendali Intelligence Quotient (IQ). Daya ingat otak ini juga bersifat jangka pendek.


B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, dan kami menyadari masih banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini. Demi kebenaran makalah ini kami memohon saran kepada rekan-rekan mahasiswa dan khususnya kepada dosen. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua, khususnya penulis.


DAFTAR PUSTAKA

Academia.edu makalah multiple intelegensi from: www.academia.edu/makalah-multiple-intelegensi diakses pada: 08 Mei 2018

Muslimin, Nur. Pendidikan Agama Islam Berbasis IQ, EQ, SQ dan CQ from: http://ejournal.kopertiais4.or.id diakses pada 08 Mei 2018

Ryulycos. Gaya berpikir From: http://ryulycos.file.wordpress.com/2011/02/gaya-berpikir.pdf diakses pada: 08 Mei 2018

Sultoni, M. Adversity Quotient from: http://etheses.uin-malang.ac.id diakses pada 05 Mei 2018

Senin, 20 Juli 2020

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

By: Nurul Aulia Fitra

Peran wanita di sektor Usaha Kecil dan Menengah umumnya terkait dengan bidang perdagangan dan industri pengolahan seperti: warung makan, toko kecil, pengolahan makanan dan industri kerajinan, karena usaha ini dapat dilakukan di rumah sehingga tidak melupakan peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Meskipun awalnya Usaha Kecil dan Menengah yang dilakukan wanita lebih banyak sebagai pekerjaan sampingan umtuk membantu suami dan untuk menambah pendapatan rumah tangga, tetapi dapat menjadi sumber pendapatan rumah tangga utama apabila dikelola secara sungguh-sungguh (Priminingtyas, 2010; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Provinsi Sumatera Barat telah memiliki beberapa dokumen dan profil industri menurut cabang industri yang ada. Menurut database pendataan industri kecil dan menengah tahun 2009 terdapat di dalamnya beberapa cabang industri yang merupakan subsektor dalam klasifikasi sektor industri kreatif. Industri tersebut telah digolongkan menurut KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Industri) oleh Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Barat: industri bordir/ sulaman (Kode KBLI 17293) dan Pertenunan (Kode KBLI 17114). Kedua cabang industri tersebut termasuk dalam sektor industri kreatif yaitu kerajinan. Mengingat saat ini dunia industri telah berada pada era ekonomi gelombang ke empat untuk itu sangat diperlukan perumusan strategi pengembangan yang tepat agar industri kreatif potensial yang dapat bergeliat dalam era ekonomi kreatif gelombang keempat pada masa sekarang ini (Pusparini, 2011; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Bordir/ sulaman dan pertenunan merupakan bagian dari seni budaya yang dilahirkan secara turun temurun dalam masyarakat daerah Sumatera Barat, khususnya daerah Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bukittinggi. Salah satu wilayah di Minang Kabau tepatnya di Jorong Tanjung Modang, Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang juga dikenal dengan nama Kampung Tenun Lintau. Kerajinan tenun tersebut bernama Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai. Awalnya, usaha kerajinan tenun tersebut merupakan usaha keluarga sejak 10 tahun lalu atau lebih, lalu seiring berjalannya waktu, ada teman-teman yang tertarik untuk bergabung membuat kerajinan tenun tersebut, sehingga terbentuk lah ide untuk membuat kelompok kerajinan tenun pada tahun 2013 dan Alhamdulillah masih aktif sampai sekarang. Kerajinan tenun merupakan kerajina yang menggunakan teknik membuat struktur dengan cara menyilangkan benang pakan dan benang lungsi/ lusi. 
Kenapa dinamakan dengan Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai?
Nama unik tersebut merupakan ide dari tujuh orang pencetus pendiri kelompok kerajinan tenun. Mereka berpikir bahwa kehidupan manusia ibaratnya berjalan di atas sehelai benang, kita sebagai seorang manusia bagai menjalani kehidupan di atas sehelai benang dalam kehidupan sehari-sehari. Batenggang artinya tempat kita bertenggang mencari kehidupan, di situ lah kita hidup. Jadi dinamakan lah kelompok tenun ini dengan kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai ini diketuai oleh Ibu Dewi. Beliau berusia 40 tahun dan berperan sebagai seorang ibu untuk kedua anaknya. Di awal terbentuknya kelompok kerajinan tenun ini, mereka membuat SK (Surat Keputusan) lalu mereka menapatkan bantuan modal dari PNPM sebesar Rp. 104.000.000,- (Seratus Empat Juta Rupiah). Lalu pada tahun 2016, kelompok kerajinan tenun ini mendapat bantuan dana dari bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) untuk membuat gerbang nama pengenal kelompok tenun mereka, tujuannya dibuat gerbang dengan nama Kampung Tenun Lintau yang merupakan sebagai pengenal atau pemberitahuan kepada orang-orang bahwa di daerah atau di jorong tersebut masih dapat ditemukan budaya lokal tentang kerajinan tenun yang diproduksi sendiri secara manual oleh ibu-ibu di lokasi tersebut, serta memudahkan orang-orang untuk menemukan lokasi tempat kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Di awal terbentuk kelompok kerajinan ini, setelah di SK kan, mereka memiliki anggota sebanyak 25 orang, namun sampai saat ini anggota kelompok kerajinan tenun yang masih aktif hanya sekitar 11 orang saja. Hasil kerajinan tenun yang diproduksi di tempat ini adalah songket dan dasar baju. Untuk pengerjaan satu pasang songket memerlukan waktu 20 hari sampai 30 hari, yang dikerjakan oleh satu orang. Sedangkan untuk satu stel dasar baju memakan waktu pengerjaan selama tujuh sampai 10 hari oleh satu orang pekerja. 
Dalam sekali pengerjaan, biaya untuk satu pasang songket adalah bervariasi, biasanya Rp. 1.200.000,- (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) atau Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Sedangkan omset yang didapat oleh satu orang untuk satu pasang tenun selama satu bulan adalah sebanyak Rp. 2000.000,- (Dua Juta Rupiah) sampai Rp. 2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Lalu omset sebulan yang didapat oleh kelompok ini adalah sekitar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). 
Kesulitan yang ditemukan dalam kerajinan tenun ini oleh kelompok tenun batenggang di Banang Sahalai adalah pada pemasaran dan pemodalan, kadang-kadang dalam satu bulan, hasil tenunan dari kelompok tenun ini terjual sebanyak dua atau tiga pasang, atau bahkan nol atau tidak ada sama sekali, dikarenakan pemasaran produk yang belum pasti. Melihat penjualan produk yang belum pasti setiap bulannya, ibu Dewi dan teman-temannya berinisiatif untuk menyimpan dana (safety) supaya nanti ke depannya jika tidak ada terjual dalam sebulan itu, mereka dapat menggunakan uang yang tersimpan tersebut dijadikan modal untuk membeli bahan-bahan pembuatan songket dan dasar baju. 
Dalam pembelian alat-alat pembuatan songket dan dasar baju, kelompok tenun ini mendapatkan bantuan dana dari PNPM dan BRI, namun untuk bahan-bahannya, seperti benang merupakan modal sendiri dari anggota kelompok kerajinan tenun. Alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan songket tersebut adalah (Murnayati, dalam Devi, 2015):
Suri, yaitu kawat yang agak kasar dan kuat disusun rapat, alat ini tergantung pada tali karok. Pada setiap benang yang terentang di alat tenun akan melalui susunan kawat ini satu persatu.
Karok, yaitu alat yang mirip dengan suri hanya saja terbuat dari benang nilon. setiap benang terentang untuk disusun harus melalui karok ini. Karok terdiri dari dua macam, yakni sebagai pengatur benang lungsi yang di bawah dan pengatur benang lungsi yang di atas.
Palantah atau panta, yaitu sebuah tempat duduk bagi penenun yang terbuat dari kayu menyerupai bangku Panjang. Kata panta berasal dari kata palanta yang berarti balai tempat duduk.
Paso, yaitu alat penggulung kain yang telah ditenun akan tetapi belum dipotong dari benang pembuat dasar kain, paso ini berbentuk bulat Panjang yang terbuat dari kayu.
Penggulung benang yaitu kayu berbentuk bulat dan memanjang di depan alat tenun, berfungsi sebagai penggulung benang yang terentang untuk ditenun.
Arang babi, yaitu sebagai penyangga penggulung benang yang belum ditenun
Kaminggang, alat berupa penyangga palantah dan bersambungan dengan arang babi
Tijak-tijak, alat yang cara penggunaannya diinjak oleh kaki si penenun, berfungsi untuk merapatkan atau mengencangkan helai-helai benang ketika membuat motif.
Atua kawa, yaitu tempat masuknya karok
Kudo-kudo, adalah alat yang digunakan untuk mengikatkan karok guna mempermudah proses menarik turunkan benang.
Tandayan, adalah tali karok
Langan-langan, yakni tempat bergantungnya tali karok dan tali suri yang terbuat dari kayu.
Pakan yaitu benang yang terentang pada alat tenun yang menjadi dasar dari kain songket.
Tughak atau turak adalah alat yang terbuat dari sepotong bambu yang dipotong dan diberi lubang ditengahnya, sebagai alat bantu untuk memindahkan benang dari sisi sat uke sisi lainnya.
Pancukia, alat yang digunakan untuk mengatur motif
Palapah alat yang tebuat dari bambu yang salah satu ujungnya diruncingkan. Berfungsi untuk menyangggah kain yang telah dijungkit, kemudian dimasukkan lidi sebelum disanggah yang sesuai dengan motif yang dibentuk.
Sangka, penyangga kain yang sudah ditenun, terletak di bawah paso
Lidi, alat yang berfungsi untuk membuat dan mengatur motif
Kasali, berfungsi sebagai penggulung benang pembuat motif dan benang tambahan yang selanjutnya dimasukkan ke dalam turak
Sedangkan untuk bahan-bahannya adalah benang lungsi/ lusi (bahan dasar), benang tersebut ukuran satuannya disebut palu. Sedangkan hiasannya (songket) berupa benang ameh (emas) yang menggunakan benang Makao atau benang India. Wah, nama alatnya unik-unik ya.
Hal yang pertama dilakukan sebelum menenun adalah menentukan warna, lalu menentukan motif, dan terakhir langsung pengerjaan. Sedangkan Christyawaty dan Ernatip (dalam Devi, 2015) membagi proses pembuatan tenun menjadi tiga tahap, yakni tahap persiapan yaitu menyiapkan seluruh benang yang akan digunakan sesuai dengan motif yang akan dibuat, tahap pengerjaan sampai pada tahap terakhir yakni tahap penyelesaian. Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5-10 cm. Dalam pemeliharaan kain songket tidak boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang emas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi dan bertahan lama.

(gambar alat-alat penenunan)

Untuk peminat dalam pembelian hasil produksi kerajinan tenunan ini, pada umumnya adalah pasangan yang telah menikah atau berkeluarga. Hasil produk tenunan ini di jual di dalam kota, luar kota, seperti ke Jakarta, dan pernah ke luar negeri. Seperti dibeli sebagai cendera mata oleh orang untuk ke Jepang, serta pernah juga turis yang datang ke kampung tenun Batenggang di Banang Sahalai untuk membeli songket dan dijadikan oleh-oleh untuk di bawa pulang.
Dalam pembuatan songket atau pun dasar baju, terkadang ibu Dewi dan teman-temannya merasa jenuh atau bosan juga dalam pengerjaannya, ketika rasa bosan dan jenuh itu datang, mereka mengatasinya dengan cara istirahat atau berhenti sebentar untuk merefreshkan pikiran, jika telah relaks dan tenang, baru memulai kembali pengerjaaan songket atau pun dasar baju. 
Harapan dari ibu Dewi selaku ketua kelompok kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai yaitu kelompok tenun ini semakin maju dan lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat tentang pemasarannya serta pengadaan pelatihan-pelatihan atau swadaya manusia, misalnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kreativitas kelompok tenun. Selama ini, jika mereka ingin ikut pelatihan-pelatihan tentang tenunan, mereka harus pergi keluar dulu, baru bisa ikut pelatihan. Dan semoga saja pemerintah daerah setempat lebih memperhatikan kelompok tenun ini, karena dengan begitu kelompok tenun ini tetap dapat bertahan dan semakin dikenal oleh masyarakat yang lebih luas lagi.
Hasil-hasil songket dari kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Devi, S. (2015). Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Vol. 2 No. 1, 24-25.

Hendrawati, & Ermayanti. (2016). Wanita Perajin Tenun Tradisional di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, Vol. 18 no. 2, 69-71.

#KKNIAINBATUSANGKAR2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

Minggu, 12 Juli 2020

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi Covid 19

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi COVID-19
By: Nurul Aulia Fitra


Pada saat ini, dunia sedang dilanda oleh wabah penyakit yang disebabkan oleh menyebarnya virus Corona atau Corona Virus Disease (COVID-19). Hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada psikologis masing-masing individu. Pemberitaan mengenai meningkatnya jumlah penderita COVID-19, bisa memiliki dampak serius seperti timbulnya perasaan tertekan, stress, panik, paranoid, dan cemas (anxiety) di kalangan masyarakat. Menurut salah seorang dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rini Setyowati (dalam Galamedianews.com) mengatakan bahwa “Pemberitaan yang simpang siur atau kurang tepat, dapat memicu stress yang dapat mempengaruhi hormom stress. Sehingga mengakibatkan system imun seseorang menurun dan rentan tertular COVID-19”.
Virus Corona atau COVID-19 yang terus merebak di dunia termasuk di Indonesia, tidak hanya menimbulkan gejala penyakit fisik saja, tetapi juga perlu diwaspadai dampak psikologisnya, baik pada penderita maupun masyarakat luas. Bagi penderita, dampak psikologisnya bisa berupa perasaan tertekan, stress, cemas atau khawatir secara berlebihan, ketika privasinya atau identitasnya diketahui public sehingga berdampak pada diasingkan oleh lingkungan sekitarnya. Akibatnya, reaksi yang timbul bagi penderita yaitu tidak jujur dengan riwayat penyakitnya. Tidak ingin menyampaikan kepada tenaga medis ia melakukan perjalanan kemana sebelumnya dan apakah pernah kontak dengan penderita COVID-19. Selain itu reaksinya juga bisa penderita merasa cemas atau khawatir dengan hasil tes yang lama keluar setelah perawatan medis.
Reaksi masyarakat terhadap penyebaran COVID-19 yang meluas juga bisa berupa proteksi secara berlebihan terhadap diri sendiri maupun keluarganya. Contohnya, mencuci tangan berulang kali, membersihkan rumah dan lingkungan secara terus-menerus. Hal ini dapat menimbulkan gejala obsesif-compulsif, yaitu gangguan mental yang menyebabkan penderita harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang. Jika tidak dilakukan, individu tersebut akan terus diliputi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. 
Terdapat dua macam coping dalam mengantisipasi dampak psikologis terhadap COVID-19, yaitu: 1) coping adaptif, yaitu cara mengatasi masalah yang adaptif baik penderita maupun masyarakat luas. Perasaan khawatir, tertekan, dan cemas, jika diolah secara tepat bisa mengarahkan individu kepada reaksi melindungi diri dengan tepat dan meningkatkan religiusitas individu. Coping inilah yang sangat penting dilakukan oleh setiap individu. 2) coping maladaptive, yaitu kebalikan dari coping adaptif, yang mana strategi coping-nya dapat mengakibatkan individu mengalami distress, cemas, gejala obsesif kompulsif atau permasalahan psikologis lainnya (dalam galamedianews.com).
Kondisi ini juga dapat menimbulkan panic buying, merupakan mekanisme psikologis ketika menghadapi ketakutan dan ketidakpastian atau sebuah fenomena yang terjadi dalam krisis yang dapat meingkatkan harga-harga dan mengambil barang-baarang penting dari tangan orang-orang yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan, seperti masker wajah dan mulut untuk para tenaga kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan mempercayai bahwa peristiwa dramatis memerlukan tanggapan yang dramatis pula, yang mana dalam kasus ini tanggapan terbaik sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja, seperti mencuci tangan (dalam BBC News Indonesia). 
Di sini lah peran Psikologi klinis atau praktisi-praktisi psikologi klinis diperlukan, yang mana mereka dapat mendukung kesejahteraan mental banyak pihak, diantaranya:
Pasien yang telah dinyatakan positif COVID-19 dan keluarga, yang ada di ruang UGD dan isolasi.
ODP yang dikarantina
PDP yang di isolasi dan keluarga
Tenaga medis dan kesehatan
Pemerintah,
Pelajar yang belajar dengan sistem daring 
Perantau yang jauh dari keluarga
Masyarakat di wilayah yang terpapar, dan
Masyarakat yang sehat.
Psikolog klinis dapat memberikan sesi konseling kepada semua lapisan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Paraktisi-praktisi psikologi klinis dapat juga membuat konten tentang relaksasi ataupun cara-cara untuk tetap tenang di tengah wabah virus Corona, lalu mengunggahnya di berbagai media social. Psikolog klinis juga bisa membantu masyarakat luas dengan cara melakukan sesi konseling menggunakan media social, seperti di Instagram, WhatsApp, Telegram, dll. Hal ini dapat mengurangi kepanikan, kekhawatiran serta kecemasan yang dirasakan masyarakat di tengah wabah virus Corona ini, serta ditambah adanya physical distancing yang mengakibatkan individu yang biasanya banyak beraktivitas di luar rumah menjadi di dalam rumah, dan tentunya ini sangat mempengaruhi kesehatan mental individu. Sehingga kesehatan fisik dan mental harus tetap terjaga bagi semua masyarakat, siapapun itu tanpa terkecuali.
Dalam pelayanan kesehatan, psikolog klinis bisa berkolaborasi dengan tenaga kesehatan dalam memudahkan proses karantina pasien di ruangan isolasi sehingga pasien merasa terkuatkan dan tidak mengalami kondisi traumatis. Psikolog klinis harus berperan aktif di tengah masyarakat yang berusaha keras mempertahankan diri dan membutuhkan validasi optimisme. Sebab strategi-strategi dalam menghadapi pandemic dapat menyebabkan timbulnya berbagai efek psikologis dan perilaku tidak nyaman. Respon umum yang dapat terjadi misalnya, insomnia, kecemasan, takut akan terjangkit, keinginan berlebih untuk makan, pesimisme, dan merokok. Anak-anak dan remaja dapat menolak isolasi social dengan perilaku agresif yang dapat diartikan sebagai acting out. 
Hal ini sejalan dengan salah satu teori tentang perilaku, yaitu teori behaviorist. Teori ini mempelajari perilaku manusia. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Seseorang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Karena semua tingkah laku yang baik bermanfaat ataupun yang merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Jadi, behaviorisme sebenarnya adalah sebuah kelompok teori yang memiliki kesamaan dalam mencermati dan menelaah perilaku manusia yang menyebar di berbagai wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di daratan Inggris, Perancis, dan Rusia. Menurut Watson (dalam Amalia & Fadholi, 2019) stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable), mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak individu tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada individu. Hanya dengan demikian pula psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris. Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa hal itu penting. Jadi, dapat dilihat, setelah penyebaran COVID-19 ini banyak masyarakat yang telah mengubah kebiasaan buruknya menjadi lebih baik, seperti mencuci tangan dan tetap menjaga kebersihan. Hal ini tentunya terjadi karena proses belajar, manusia mengubah perilakunya menjadi ke arah yang lebih baik agar terhindar dari virus corona ini.
Di tengah kondisi yang bisa dikatakan tidak baik ini, sangat diperlukan kontribusi psikologi klinis dalam membantu pemerintah dan tenaga kesehatan dalam mengatasi wabah yang melanda Indonesia. Tidak hanya sehat fisik, sehat mental juga diperlukan, hal ini untuk menjaga system imun kita untuk tetap baik. Karena jika dalam situasi ini kita stress, cemas, khawatir, panik serta paranoid hal itu menandakan mental kita tidak sehat, yang dapat menyebabkan imunitas kita lemah, dan menjadi celah bagi virus Corona bisa masuk dan menyerang tubuh manusia. 
Dalam mengatasi wabah ini, pemerintah telah menghimbau dan megajak masyarakat untuk di rumah saja, dan keluar rumah untuk hal yang benar-benar urgent atau penting. Masyarakat melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, yang di kenal dengan istilah social distancing, namun istilah itu berubah menjadi psychally distancing, karena manusia tidak menjaga jarak dengan lingkungan social, tapi menjaga jarak antara diri individu dengan individu yang lain, yang mana aktivitas sehari-hari tetap dilakukan, tetapi di dalam rumah, yang dikenal dengan work from home (WFH). Di sini, pekerja dan pelajar bekerja dan belajar melalui sistem daring, misalnya melalui grup WhatsApp, e-Learning, Google Classroom, Skype, dan aplikasi lainnya.
Hal tersebut, tentu bukan hal yang mudah, memerlukan adaptasi yang tidak singkat. Oleh karena itu diperlukan kontribusi Psikolog klinis untuk mendorong atau memotivasi masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga kesehatan mentalnya, serta tetap mematuhi ajakan pemerintah. Kita tidak hanya melihat dari satu sisi saja, pasti ada hikmah atau dampak positif dari setiap kejadian ini, diantaranya:
Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah,
Mengjarkan Indonesia seberapa siap dengan system pembelajaran digital menyongsong digital society 5.0
Mengingatkan kita pentingnya menjaga kebersihan
Sebagai seorang muslim, tentunya dengan banyak menghabiskan waktu di rumah dapat menjadikan kita untuk lebih banyak waktu untuk beribadah, mendekatkan diri kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT.
Pemerintah juga mengajak masyarakat untuk tetap safety jika bepergian, yaitu menggunakan masker dan cuci tangan selama 20 detik, serta tidak memegang area wajah, seperti mata, hidung dan mulut sebelum cuci tangan. Di sini juga diperlukan kontrol supaya tidak membuat individu mengalami obsesif-compulsiv, dengan mencuci tanga berulang-ulang, karena merasa belum bersih. Jika tidak dipenuhi maka individu tersebut merasa ketakutan, cemas dan khawatir. 
Pemerintah juga telah menghimbau masyarakat Indonesia untuk berdiam diri di rumah, beribadah di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 detik dan tetap menghindar dari keramaian. Namun sangat disayangkan dengan masyarakat yang bebal dan tidak menghiraukan pemerintah. Masyarakat terutama anak-anak dan remaja banyak yang tetap keluar rumah, bahkan banyak para perantau yang pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tentunya ini memiliki dampak buruk bagi orang-orang di lingkungan sekitarnya. Karena di Indonesia sendiri, belum dilakukan tes secara massif, jadi kita tidak tahu apakah kita membawa virus itu atau tidak. Apalagi para perantau tersebut berada di daerah yang terpapar sebelumnya. Bahkan sampai saat ini, sudah ada seribu kasus lebih dan angka menuju seratus untuk kematian, sedangkan yang sembuh hanya setengah dari itu.
Tidak hanya itu, banyak juga para jamaah masjid yang ngeyel untuk tetap sholat berjamaah. Jika dalam keadaan normal itu sangat baik, namun dalam keadaan seperti ini tentu berdampak buruk. Hal ini dilakukan juga bukan untuk selamanya, sampai wabah ini berlalu. Akibatnya sekarang sudah ada tiga jamaah masjid yang positif, akibatnya 300 lebih jamaah di karantina di masjid tersebut. Bukankah Allah tidak akan menyulitkan hamba-hambanya. Sholat jamaah juga tetap bisa dilaksanakan di rumah, yang penting suara azan tetap berkumandang. Kita bisa belajar dari kisah-kisah terdahulu, seperti
Ketika perang Nabi tetap shalat berjamaah karena musuhnya kelihatan, dan sholatnya bergantian
Umar bin Khatab menghindar dari wabah penyakit Tho’un di Syam, dan berkata “Saya lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah yang lain”
Jaman Nabi juga pernah terjadi wabah tapi ciri-cinya kelihatan. Nabi bersabda “jangan dicampur yang sehat dengan yang sakit. Bahkan Nabi membaiat utusan Tsaqif tanpa berjabat tangan.
Dapat kita lihat bahwa, Allah tidaklah mempersulit hambanya, meskipun untuk sementara masjid kosong, namun Azan tetap berkumandang, dan ibadah kita tidak terhenti. Tentunya, sebagai seorang muslim, kita tidak hanya sekedar mengandalkan diri dengan usaha sendiri, tapi kita juga butuh doa. Kita butuh pertolongan Allah swt., yang membuat makhluk sekecil itu mampu memporak-porandakan jutaan manusia. Maka, Allah lebih mampu untuk meredam ini semua, menjadikannya kembali ke keadaan normal, dengan cara yang paling baik pula. 
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi COVID-19 ini tidak hanya tanggungjawab satu pihak saja, tapi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat harus mendengarkan himbauan pemerintah untuk tetap di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 deitk serta menghindari keramain, karena kita tidak tahu siapa yang sedang terinfeksi virus tersebut. Serta di Indonesia sendiri belum ada tes yang dilakukan secara massif. 
Oleh karena itu tetap jaga kebersihan dan jaga kesehatan mental untuk tetap tenang dan tidak panik. Kita juga harus sadar, bahwa kita memiliki kesempatan untuk berusaha melindungi diri kita sendiri, namun, tidak demikian dengan pelayan kesehatan atau tenaga kesehatan. Mereka harus menangani pasien dengan penyakit menular yang tentu sngat menimbulkan ketegangan dan mengguncang kesejahteraan mental. Dukungan moril yang berlandaskan empati bagi mereka sangatlah penting. Kita harus memberikan minimal sedikit saja perhatian kita kepada mereka yang sedang berjuang di garda terdepan melawan wabah COVID-19. Di sini tentunya kontribusi psikolug klinis sangat diperlukan, psikolog klinis dapat memberikan pelatihan-pelatihan ataupun memberikan sesi konseling kepada para tenaga medis agar mental nya tetap sehat. Agar mereka mampu menghadapi tekanan-tekanan yang datang kepada mereka. Psikolog klinis juga dapat mengajarkan mereka untuk tetap relaks dalam menghadapi kekisruhan di rumah sakit.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nahar, Novi Irawan. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran. Desember 2016. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol.1.

Robson, D. (2020, April 08). BBC News Indonesia. Retrieved from bbc.com: https://www.bbc.com 

Sundberg, Norman D dkk. (2007). Psikologi Klinis: Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sutanto. (2020, Maret 19). PT. Galamedia Bandung Perkasa. Retrieved from Galamedianews.com: https://www.galamedianews.com  


#KknIainBatusangkar2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...