Senin, 20 Juli 2020

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

Kampung Tenun Lintau “Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai”

By: Nurul Aulia Fitra

Peran wanita di sektor Usaha Kecil dan Menengah umumnya terkait dengan bidang perdagangan dan industri pengolahan seperti: warung makan, toko kecil, pengolahan makanan dan industri kerajinan, karena usaha ini dapat dilakukan di rumah sehingga tidak melupakan peran wanita sebagai ibu rumah tangga. Meskipun awalnya Usaha Kecil dan Menengah yang dilakukan wanita lebih banyak sebagai pekerjaan sampingan umtuk membantu suami dan untuk menambah pendapatan rumah tangga, tetapi dapat menjadi sumber pendapatan rumah tangga utama apabila dikelola secara sungguh-sungguh (Priminingtyas, 2010; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Provinsi Sumatera Barat telah memiliki beberapa dokumen dan profil industri menurut cabang industri yang ada. Menurut database pendataan industri kecil dan menengah tahun 2009 terdapat di dalamnya beberapa cabang industri yang merupakan subsektor dalam klasifikasi sektor industri kreatif. Industri tersebut telah digolongkan menurut KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Industri) oleh Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Barat: industri bordir/ sulaman (Kode KBLI 17293) dan Pertenunan (Kode KBLI 17114). Kedua cabang industri tersebut termasuk dalam sektor industri kreatif yaitu kerajinan. Mengingat saat ini dunia industri telah berada pada era ekonomi gelombang ke empat untuk itu sangat diperlukan perumusan strategi pengembangan yang tepat agar industri kreatif potensial yang dapat bergeliat dalam era ekonomi kreatif gelombang keempat pada masa sekarang ini (Pusparini, 2011; Hendrawati & Ermayanti, 2017).
Bordir/ sulaman dan pertenunan merupakan bagian dari seni budaya yang dilahirkan secara turun temurun dalam masyarakat daerah Sumatera Barat, khususnya daerah Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bukittinggi. Salah satu wilayah di Minang Kabau tepatnya di Jorong Tanjung Modang, Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat yang juga dikenal dengan nama Kampung Tenun Lintau. Kerajinan tenun tersebut bernama Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai. Awalnya, usaha kerajinan tenun tersebut merupakan usaha keluarga sejak 10 tahun lalu atau lebih, lalu seiring berjalannya waktu, ada teman-teman yang tertarik untuk bergabung membuat kerajinan tenun tersebut, sehingga terbentuk lah ide untuk membuat kelompok kerajinan tenun pada tahun 2013 dan Alhamdulillah masih aktif sampai sekarang. Kerajinan tenun merupakan kerajina yang menggunakan teknik membuat struktur dengan cara menyilangkan benang pakan dan benang lungsi/ lusi. 
Kenapa dinamakan dengan Kelompok Tenun Batenggang di Banang Sahalai?
Nama unik tersebut merupakan ide dari tujuh orang pencetus pendiri kelompok kerajinan tenun. Mereka berpikir bahwa kehidupan manusia ibaratnya berjalan di atas sehelai benang, kita sebagai seorang manusia bagai menjalani kehidupan di atas sehelai benang dalam kehidupan sehari-sehari. Batenggang artinya tempat kita bertenggang mencari kehidupan, di situ lah kita hidup. Jadi dinamakan lah kelompok tenun ini dengan kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai ini diketuai oleh Ibu Dewi. Beliau berusia 40 tahun dan berperan sebagai seorang ibu untuk kedua anaknya. Di awal terbentuknya kelompok kerajinan tenun ini, mereka membuat SK (Surat Keputusan) lalu mereka menapatkan bantuan modal dari PNPM sebesar Rp. 104.000.000,- (Seratus Empat Juta Rupiah). Lalu pada tahun 2016, kelompok kerajinan tenun ini mendapat bantuan dana dari bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) untuk membuat gerbang nama pengenal kelompok tenun mereka, tujuannya dibuat gerbang dengan nama Kampung Tenun Lintau yang merupakan sebagai pengenal atau pemberitahuan kepada orang-orang bahwa di daerah atau di jorong tersebut masih dapat ditemukan budaya lokal tentang kerajinan tenun yang diproduksi sendiri secara manual oleh ibu-ibu di lokasi tersebut, serta memudahkan orang-orang untuk menemukan lokasi tempat kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai.
Di awal terbentuk kelompok kerajinan ini, setelah di SK kan, mereka memiliki anggota sebanyak 25 orang, namun sampai saat ini anggota kelompok kerajinan tenun yang masih aktif hanya sekitar 11 orang saja. Hasil kerajinan tenun yang diproduksi di tempat ini adalah songket dan dasar baju. Untuk pengerjaan satu pasang songket memerlukan waktu 20 hari sampai 30 hari, yang dikerjakan oleh satu orang. Sedangkan untuk satu stel dasar baju memakan waktu pengerjaan selama tujuh sampai 10 hari oleh satu orang pekerja. 
Dalam sekali pengerjaan, biaya untuk satu pasang songket adalah bervariasi, biasanya Rp. 1.200.000,- (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) atau Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Sedangkan omset yang didapat oleh satu orang untuk satu pasang tenun selama satu bulan adalah sebanyak Rp. 2000.000,- (Dua Juta Rupiah) sampai Rp. 2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Lalu omset sebulan yang didapat oleh kelompok ini adalah sekitar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). 
Kesulitan yang ditemukan dalam kerajinan tenun ini oleh kelompok tenun batenggang di Banang Sahalai adalah pada pemasaran dan pemodalan, kadang-kadang dalam satu bulan, hasil tenunan dari kelompok tenun ini terjual sebanyak dua atau tiga pasang, atau bahkan nol atau tidak ada sama sekali, dikarenakan pemasaran produk yang belum pasti. Melihat penjualan produk yang belum pasti setiap bulannya, ibu Dewi dan teman-temannya berinisiatif untuk menyimpan dana (safety) supaya nanti ke depannya jika tidak ada terjual dalam sebulan itu, mereka dapat menggunakan uang yang tersimpan tersebut dijadikan modal untuk membeli bahan-bahan pembuatan songket dan dasar baju. 
Dalam pembelian alat-alat pembuatan songket dan dasar baju, kelompok tenun ini mendapatkan bantuan dana dari PNPM dan BRI, namun untuk bahan-bahannya, seperti benang merupakan modal sendiri dari anggota kelompok kerajinan tenun. Alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan songket tersebut adalah (Murnayati, dalam Devi, 2015):
Suri, yaitu kawat yang agak kasar dan kuat disusun rapat, alat ini tergantung pada tali karok. Pada setiap benang yang terentang di alat tenun akan melalui susunan kawat ini satu persatu.
Karok, yaitu alat yang mirip dengan suri hanya saja terbuat dari benang nilon. setiap benang terentang untuk disusun harus melalui karok ini. Karok terdiri dari dua macam, yakni sebagai pengatur benang lungsi yang di bawah dan pengatur benang lungsi yang di atas.
Palantah atau panta, yaitu sebuah tempat duduk bagi penenun yang terbuat dari kayu menyerupai bangku Panjang. Kata panta berasal dari kata palanta yang berarti balai tempat duduk.
Paso, yaitu alat penggulung kain yang telah ditenun akan tetapi belum dipotong dari benang pembuat dasar kain, paso ini berbentuk bulat Panjang yang terbuat dari kayu.
Penggulung benang yaitu kayu berbentuk bulat dan memanjang di depan alat tenun, berfungsi sebagai penggulung benang yang terentang untuk ditenun.
Arang babi, yaitu sebagai penyangga penggulung benang yang belum ditenun
Kaminggang, alat berupa penyangga palantah dan bersambungan dengan arang babi
Tijak-tijak, alat yang cara penggunaannya diinjak oleh kaki si penenun, berfungsi untuk merapatkan atau mengencangkan helai-helai benang ketika membuat motif.
Atua kawa, yaitu tempat masuknya karok
Kudo-kudo, adalah alat yang digunakan untuk mengikatkan karok guna mempermudah proses menarik turunkan benang.
Tandayan, adalah tali karok
Langan-langan, yakni tempat bergantungnya tali karok dan tali suri yang terbuat dari kayu.
Pakan yaitu benang yang terentang pada alat tenun yang menjadi dasar dari kain songket.
Tughak atau turak adalah alat yang terbuat dari sepotong bambu yang dipotong dan diberi lubang ditengahnya, sebagai alat bantu untuk memindahkan benang dari sisi sat uke sisi lainnya.
Pancukia, alat yang digunakan untuk mengatur motif
Palapah alat yang tebuat dari bambu yang salah satu ujungnya diruncingkan. Berfungsi untuk menyangggah kain yang telah dijungkit, kemudian dimasukkan lidi sebelum disanggah yang sesuai dengan motif yang dibentuk.
Sangka, penyangga kain yang sudah ditenun, terletak di bawah paso
Lidi, alat yang berfungsi untuk membuat dan mengatur motif
Kasali, berfungsi sebagai penggulung benang pembuat motif dan benang tambahan yang selanjutnya dimasukkan ke dalam turak
Sedangkan untuk bahan-bahannya adalah benang lungsi/ lusi (bahan dasar), benang tersebut ukuran satuannya disebut palu. Sedangkan hiasannya (songket) berupa benang ameh (emas) yang menggunakan benang Makao atau benang India. Wah, nama alatnya unik-unik ya.
Hal yang pertama dilakukan sebelum menenun adalah menentukan warna, lalu menentukan motif, dan terakhir langsung pengerjaan. Sedangkan Christyawaty dan Ernatip (dalam Devi, 2015) membagi proses pembuatan tenun menjadi tiga tahap, yakni tahap persiapan yaitu menyiapkan seluruh benang yang akan digunakan sesuai dengan motif yang akan dibuat, tahap pengerjaan sampai pada tahap terakhir yakni tahap penyelesaian. Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5-10 cm. Dalam pemeliharaan kain songket tidak boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu bulat yang berdiameter 5 cm. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang emas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapi dan bertahan lama.

(gambar alat-alat penenunan)

Untuk peminat dalam pembelian hasil produksi kerajinan tenunan ini, pada umumnya adalah pasangan yang telah menikah atau berkeluarga. Hasil produk tenunan ini di jual di dalam kota, luar kota, seperti ke Jakarta, dan pernah ke luar negeri. Seperti dibeli sebagai cendera mata oleh orang untuk ke Jepang, serta pernah juga turis yang datang ke kampung tenun Batenggang di Banang Sahalai untuk membeli songket dan dijadikan oleh-oleh untuk di bawa pulang.
Dalam pembuatan songket atau pun dasar baju, terkadang ibu Dewi dan teman-temannya merasa jenuh atau bosan juga dalam pengerjaannya, ketika rasa bosan dan jenuh itu datang, mereka mengatasinya dengan cara istirahat atau berhenti sebentar untuk merefreshkan pikiran, jika telah relaks dan tenang, baru memulai kembali pengerjaaan songket atau pun dasar baju. 
Harapan dari ibu Dewi selaku ketua kelompok kerajinan tenun Batenggang di Banang Sahalai yaitu kelompok tenun ini semakin maju dan lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat tentang pemasarannya serta pengadaan pelatihan-pelatihan atau swadaya manusia, misalnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kreativitas kelompok tenun. Selama ini, jika mereka ingin ikut pelatihan-pelatihan tentang tenunan, mereka harus pergi keluar dulu, baru bisa ikut pelatihan. Dan semoga saja pemerintah daerah setempat lebih memperhatikan kelompok tenun ini, karena dengan begitu kelompok tenun ini tetap dapat bertahan dan semakin dikenal oleh masyarakat yang lebih luas lagi.
Hasil-hasil songket dari kelompok tenun Batenggang di Banang Sahalai







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Devi, S. (2015). Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek. Jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Vol. 2 No. 1, 24-25.

Hendrawati, & Ermayanti. (2016). Wanita Perajin Tenun Tradisional di Nagari Halaban Kecamatan Lareh Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jurnal Antropologi: Isu-isu Sosial Budaya, Vol. 18 no. 2, 69-71.

#KKNIAINBATUSANGKAR2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

Minggu, 12 Juli 2020

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi Covid 19

Peran Psikologi Klinis Terhadap Pendemi COVID-19
By: Nurul Aulia Fitra


Pada saat ini, dunia sedang dilanda oleh wabah penyakit yang disebabkan oleh menyebarnya virus Corona atau Corona Virus Disease (COVID-19). Hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada psikologis masing-masing individu. Pemberitaan mengenai meningkatnya jumlah penderita COVID-19, bisa memiliki dampak serius seperti timbulnya perasaan tertekan, stress, panik, paranoid, dan cemas (anxiety) di kalangan masyarakat. Menurut salah seorang dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rini Setyowati (dalam Galamedianews.com) mengatakan bahwa “Pemberitaan yang simpang siur atau kurang tepat, dapat memicu stress yang dapat mempengaruhi hormom stress. Sehingga mengakibatkan system imun seseorang menurun dan rentan tertular COVID-19”.
Virus Corona atau COVID-19 yang terus merebak di dunia termasuk di Indonesia, tidak hanya menimbulkan gejala penyakit fisik saja, tetapi juga perlu diwaspadai dampak psikologisnya, baik pada penderita maupun masyarakat luas. Bagi penderita, dampak psikologisnya bisa berupa perasaan tertekan, stress, cemas atau khawatir secara berlebihan, ketika privasinya atau identitasnya diketahui public sehingga berdampak pada diasingkan oleh lingkungan sekitarnya. Akibatnya, reaksi yang timbul bagi penderita yaitu tidak jujur dengan riwayat penyakitnya. Tidak ingin menyampaikan kepada tenaga medis ia melakukan perjalanan kemana sebelumnya dan apakah pernah kontak dengan penderita COVID-19. Selain itu reaksinya juga bisa penderita merasa cemas atau khawatir dengan hasil tes yang lama keluar setelah perawatan medis.
Reaksi masyarakat terhadap penyebaran COVID-19 yang meluas juga bisa berupa proteksi secara berlebihan terhadap diri sendiri maupun keluarganya. Contohnya, mencuci tangan berulang kali, membersihkan rumah dan lingkungan secara terus-menerus. Hal ini dapat menimbulkan gejala obsesif-compulsif, yaitu gangguan mental yang menyebabkan penderita harus melakukan suatu tindakan secara berulang-ulang. Jika tidak dilakukan, individu tersebut akan terus diliputi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. 
Terdapat dua macam coping dalam mengantisipasi dampak psikologis terhadap COVID-19, yaitu: 1) coping adaptif, yaitu cara mengatasi masalah yang adaptif baik penderita maupun masyarakat luas. Perasaan khawatir, tertekan, dan cemas, jika diolah secara tepat bisa mengarahkan individu kepada reaksi melindungi diri dengan tepat dan meningkatkan religiusitas individu. Coping inilah yang sangat penting dilakukan oleh setiap individu. 2) coping maladaptive, yaitu kebalikan dari coping adaptif, yang mana strategi coping-nya dapat mengakibatkan individu mengalami distress, cemas, gejala obsesif kompulsif atau permasalahan psikologis lainnya (dalam galamedianews.com).
Kondisi ini juga dapat menimbulkan panic buying, merupakan mekanisme psikologis ketika menghadapi ketakutan dan ketidakpastian atau sebuah fenomena yang terjadi dalam krisis yang dapat meingkatkan harga-harga dan mengambil barang-baarang penting dari tangan orang-orang yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan, seperti masker wajah dan mulut untuk para tenaga kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan mempercayai bahwa peristiwa dramatis memerlukan tanggapan yang dramatis pula, yang mana dalam kasus ini tanggapan terbaik sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja, seperti mencuci tangan (dalam BBC News Indonesia). 
Di sini lah peran Psikologi klinis atau praktisi-praktisi psikologi klinis diperlukan, yang mana mereka dapat mendukung kesejahteraan mental banyak pihak, diantaranya:
Pasien yang telah dinyatakan positif COVID-19 dan keluarga, yang ada di ruang UGD dan isolasi.
ODP yang dikarantina
PDP yang di isolasi dan keluarga
Tenaga medis dan kesehatan
Pemerintah,
Pelajar yang belajar dengan sistem daring 
Perantau yang jauh dari keluarga
Masyarakat di wilayah yang terpapar, dan
Masyarakat yang sehat.
Psikolog klinis dapat memberikan sesi konseling kepada semua lapisan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Paraktisi-praktisi psikologi klinis dapat juga membuat konten tentang relaksasi ataupun cara-cara untuk tetap tenang di tengah wabah virus Corona, lalu mengunggahnya di berbagai media social. Psikolog klinis juga bisa membantu masyarakat luas dengan cara melakukan sesi konseling menggunakan media social, seperti di Instagram, WhatsApp, Telegram, dll. Hal ini dapat mengurangi kepanikan, kekhawatiran serta kecemasan yang dirasakan masyarakat di tengah wabah virus Corona ini, serta ditambah adanya physical distancing yang mengakibatkan individu yang biasanya banyak beraktivitas di luar rumah menjadi di dalam rumah, dan tentunya ini sangat mempengaruhi kesehatan mental individu. Sehingga kesehatan fisik dan mental harus tetap terjaga bagi semua masyarakat, siapapun itu tanpa terkecuali.
Dalam pelayanan kesehatan, psikolog klinis bisa berkolaborasi dengan tenaga kesehatan dalam memudahkan proses karantina pasien di ruangan isolasi sehingga pasien merasa terkuatkan dan tidak mengalami kondisi traumatis. Psikolog klinis harus berperan aktif di tengah masyarakat yang berusaha keras mempertahankan diri dan membutuhkan validasi optimisme. Sebab strategi-strategi dalam menghadapi pandemic dapat menyebabkan timbulnya berbagai efek psikologis dan perilaku tidak nyaman. Respon umum yang dapat terjadi misalnya, insomnia, kecemasan, takut akan terjangkit, keinginan berlebih untuk makan, pesimisme, dan merokok. Anak-anak dan remaja dapat menolak isolasi social dengan perilaku agresif yang dapat diartikan sebagai acting out. 
Hal ini sejalan dengan salah satu teori tentang perilaku, yaitu teori behaviorist. Teori ini mempelajari perilaku manusia. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajarinya, melalui pengalaman-pengalaman terdahulu, menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Seseorang menghentikan suatu tingkah laku, mungkin karena tingkah laku tersebut belum diberi hadiah atau telah mendapat hukuman. Karena semua tingkah laku yang baik bermanfaat ataupun yang merusak, merupakan tingkah laku yang dipelajari.
Jadi, behaviorisme sebenarnya adalah sebuah kelompok teori yang memiliki kesamaan dalam mencermati dan menelaah perilaku manusia yang menyebar di berbagai wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di daratan Inggris, Perancis, dan Rusia. Menurut Watson (dalam Amalia & Fadholi, 2019) stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang bisa diamati (observable), mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak individu tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada individu. Hanya dengan demikian pula psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris. Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa hal itu penting. Jadi, dapat dilihat, setelah penyebaran COVID-19 ini banyak masyarakat yang telah mengubah kebiasaan buruknya menjadi lebih baik, seperti mencuci tangan dan tetap menjaga kebersihan. Hal ini tentunya terjadi karena proses belajar, manusia mengubah perilakunya menjadi ke arah yang lebih baik agar terhindar dari virus corona ini.
Di tengah kondisi yang bisa dikatakan tidak baik ini, sangat diperlukan kontribusi psikologi klinis dalam membantu pemerintah dan tenaga kesehatan dalam mengatasi wabah yang melanda Indonesia. Tidak hanya sehat fisik, sehat mental juga diperlukan, hal ini untuk menjaga system imun kita untuk tetap baik. Karena jika dalam situasi ini kita stress, cemas, khawatir, panik serta paranoid hal itu menandakan mental kita tidak sehat, yang dapat menyebabkan imunitas kita lemah, dan menjadi celah bagi virus Corona bisa masuk dan menyerang tubuh manusia. 
Dalam mengatasi wabah ini, pemerintah telah menghimbau dan megajak masyarakat untuk di rumah saja, dan keluar rumah untuk hal yang benar-benar urgent atau penting. Masyarakat melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing, yang di kenal dengan istilah social distancing, namun istilah itu berubah menjadi psychally distancing, karena manusia tidak menjaga jarak dengan lingkungan social, tapi menjaga jarak antara diri individu dengan individu yang lain, yang mana aktivitas sehari-hari tetap dilakukan, tetapi di dalam rumah, yang dikenal dengan work from home (WFH). Di sini, pekerja dan pelajar bekerja dan belajar melalui sistem daring, misalnya melalui grup WhatsApp, e-Learning, Google Classroom, Skype, dan aplikasi lainnya.
Hal tersebut, tentu bukan hal yang mudah, memerlukan adaptasi yang tidak singkat. Oleh karena itu diperlukan kontribusi Psikolog klinis untuk mendorong atau memotivasi masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga kesehatan mentalnya, serta tetap mematuhi ajakan pemerintah. Kita tidak hanya melihat dari satu sisi saja, pasti ada hikmah atau dampak positif dari setiap kejadian ini, diantaranya:
Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah,
Mengjarkan Indonesia seberapa siap dengan system pembelajaran digital menyongsong digital society 5.0
Mengingatkan kita pentingnya menjaga kebersihan
Sebagai seorang muslim, tentunya dengan banyak menghabiskan waktu di rumah dapat menjadikan kita untuk lebih banyak waktu untuk beribadah, mendekatkan diri kepada sang pencipta, yaitu Allah SWT.
Pemerintah juga mengajak masyarakat untuk tetap safety jika bepergian, yaitu menggunakan masker dan cuci tangan selama 20 detik, serta tidak memegang area wajah, seperti mata, hidung dan mulut sebelum cuci tangan. Di sini juga diperlukan kontrol supaya tidak membuat individu mengalami obsesif-compulsiv, dengan mencuci tanga berulang-ulang, karena merasa belum bersih. Jika tidak dipenuhi maka individu tersebut merasa ketakutan, cemas dan khawatir. 
Pemerintah juga telah menghimbau masyarakat Indonesia untuk berdiam diri di rumah, beribadah di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 detik dan tetap menghindar dari keramaian. Namun sangat disayangkan dengan masyarakat yang bebal dan tidak menghiraukan pemerintah. Masyarakat terutama anak-anak dan remaja banyak yang tetap keluar rumah, bahkan banyak para perantau yang pulang ke kampung halamannya masing-masing. Tentunya ini memiliki dampak buruk bagi orang-orang di lingkungan sekitarnya. Karena di Indonesia sendiri, belum dilakukan tes secara massif, jadi kita tidak tahu apakah kita membawa virus itu atau tidak. Apalagi para perantau tersebut berada di daerah yang terpapar sebelumnya. Bahkan sampai saat ini, sudah ada seribu kasus lebih dan angka menuju seratus untuk kematian, sedangkan yang sembuh hanya setengah dari itu.
Tidak hanya itu, banyak juga para jamaah masjid yang ngeyel untuk tetap sholat berjamaah. Jika dalam keadaan normal itu sangat baik, namun dalam keadaan seperti ini tentu berdampak buruk. Hal ini dilakukan juga bukan untuk selamanya, sampai wabah ini berlalu. Akibatnya sekarang sudah ada tiga jamaah masjid yang positif, akibatnya 300 lebih jamaah di karantina di masjid tersebut. Bukankah Allah tidak akan menyulitkan hamba-hambanya. Sholat jamaah juga tetap bisa dilaksanakan di rumah, yang penting suara azan tetap berkumandang. Kita bisa belajar dari kisah-kisah terdahulu, seperti
Ketika perang Nabi tetap shalat berjamaah karena musuhnya kelihatan, dan sholatnya bergantian
Umar bin Khatab menghindar dari wabah penyakit Tho’un di Syam, dan berkata “Saya lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah yang lain”
Jaman Nabi juga pernah terjadi wabah tapi ciri-cinya kelihatan. Nabi bersabda “jangan dicampur yang sehat dengan yang sakit. Bahkan Nabi membaiat utusan Tsaqif tanpa berjabat tangan.
Dapat kita lihat bahwa, Allah tidaklah mempersulit hambanya, meskipun untuk sementara masjid kosong, namun Azan tetap berkumandang, dan ibadah kita tidak terhenti. Tentunya, sebagai seorang muslim, kita tidak hanya sekedar mengandalkan diri dengan usaha sendiri, tapi kita juga butuh doa. Kita butuh pertolongan Allah swt., yang membuat makhluk sekecil itu mampu memporak-porandakan jutaan manusia. Maka, Allah lebih mampu untuk meredam ini semua, menjadikannya kembali ke keadaan normal, dengan cara yang paling baik pula. 
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi COVID-19 ini tidak hanya tanggungjawab satu pihak saja, tapi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat harus mendengarkan himbauan pemerintah untuk tetap di rumah, cuci tangan dengan sabun selama 20 deitk serta menghindari keramain, karena kita tidak tahu siapa yang sedang terinfeksi virus tersebut. Serta di Indonesia sendiri belum ada tes yang dilakukan secara massif. 
Oleh karena itu tetap jaga kebersihan dan jaga kesehatan mental untuk tetap tenang dan tidak panik. Kita juga harus sadar, bahwa kita memiliki kesempatan untuk berusaha melindungi diri kita sendiri, namun, tidak demikian dengan pelayan kesehatan atau tenaga kesehatan. Mereka harus menangani pasien dengan penyakit menular yang tentu sngat menimbulkan ketegangan dan mengguncang kesejahteraan mental. Dukungan moril yang berlandaskan empati bagi mereka sangatlah penting. Kita harus memberikan minimal sedikit saja perhatian kita kepada mereka yang sedang berjuang di garda terdepan melawan wabah COVID-19. Di sini tentunya kontribusi psikolug klinis sangat diperlukan, psikolog klinis dapat memberikan pelatihan-pelatihan ataupun memberikan sesi konseling kepada para tenaga medis agar mental nya tetap sehat. Agar mereka mampu menghadapi tekanan-tekanan yang datang kepada mereka. Psikolog klinis juga dapat mengajarkan mereka untuk tetap relaks dalam menghadapi kekisruhan di rumah sakit.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nahar, Novi Irawan. Penerapan Teori Belajar Behavioristik Dalam Proses Pembelajaran. Desember 2016. Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol.1.

Robson, D. (2020, April 08). BBC News Indonesia. Retrieved from bbc.com: https://www.bbc.com 

Sundberg, Norman D dkk. (2007). Psikologi Klinis: Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sutanto. (2020, Maret 19). PT. Galamedia Bandung Perkasa. Retrieved from Galamedianews.com: https://www.galamedianews.com  


#KknIainBatusangkar2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

Fenomena Psikologi Panic Buying Akibat Covid - 19 di Tengah Masyarakat

FENOMENA PSIKOLOGI PANIC BUYING AKIBAT COVID-19 DI TENGAH MASYARAKAT
BY: NURUL AULIA FITRA


Akhir-akhir ini, banyak ditemukan fenomena panic buying yang terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, bahkan hampir di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit pandemic Covid-19, masyarakatnya banyak yang menunjukkan perilaku ini. Di Indonesia sendiri, banyak kasus-kasus yang bermunculan, diantaranya yaitu pembelian barang pokok, snack atau pun perangkat kesehatan seperti hand sanitizer, masker, sabun, alat pengukur suhu dan sejenisnya yang dibeli dalam jumlah yang besar dan sangat berlebihan. Hal ini merupakan tindakan yang irrasional dan salah, karena tindakan tersebut sangat egois, bukan hanya diri kita yang butuh, tapi juga orang lain. Tindakan ini bisa berakibat pada langkanya barang tersebut dan harga barang-barang itu naik. 
Dilansir dari cermati.com tanggal 23 Maret 2020, Tutum Rahanta (Anggota Dewan Penasehat HIPPINDO) mengatakah bahwa di Indonesia sendiri sudah dua kali terjadi rush atau belanja besar-besaran, pertama terjadi setelah pengunguman kasus pertama Covid-19 oleh Presiden Jokowi tanggal 2 Maret. Terlihat rak-rak kosong, tapi bukan karena stok tidak ada, melainkan sudah habis sebelum dipajang. Kedua, terjadi pada 14 Maret 2020 karena ada isu lockdown. Selanjutnya terjadi lagi peningkatan pembelian, namun aksi panic buying dalam skala yang tidak terlau besar.
Hal ini dapat terjadi karena banyaknya informasi simpang siur mengenai Covid-19. Dengan meningkatnya kasus postif yang terjadi di Indonesia, tentunya hal ini membuat masyarakat semakin resah, panik dan takut. Akibatnya tidak ada lagi perasaan tenang dan aman. Tidak hanya masyarakat Indonesia, hampir seluruh masyarakat di dunia dilanda kecemasan yang berlebihan. Timbulnya kekhawatiran jika pendemi ini menjangkiti dirinya maupun keluarganya.
Selain menciptakan masalah kesehatan dan dampak ekonomi ke hampir semua negara di dunia, COVID-19 juga telah menyebabkan banyak individu untuk mengadopsi perilaku pembelian yang tidak biasa. Misalnya, belum pernah terjadi sebelumnya membeli kertas toilet di Hong Kong dan Australia, antri untuk membeli senjata di AS dan permintaan berlebihan untuk banyak barang kebutuhan sehari-hari di semua hampir semua negara di dunia (Altsdter & Hong, dalam Kuruppu 2020).
Sejak awal pandemi corona virus telah ada peningkatan penggunaan masker (Feng et al., dalam Roy, et al., 2020) dan pembersih yang menghasilkan kelelahan sumber daya di pasar. Kekurangan peralatan perlindungan pribadi membahayakan pekerja kesehatan di seluruh dunia (WHO, 2020c). Tidak adanya tindakan perlindungan yang tepat merupakan penyebab utama kekhawatiran di antara tenaga medis. Kecemasan dan kekhawatiran dalam masyarakat secara global mempengaruhi individu secara luas. Bukti terbaru menunjukkan bahwa individu yang ditempatkan dalam isolasi dan karantina mengalami kesulitan yang signifikan dalam bentuk kecemasan, kemarahan, kebingungan dan gejala stres pasca-trauma (Brooks et al., dalam Roy, et al., 20202020).
Ekonomi penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen atau masyarakat ketika ada situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat sering dikenal dengan istilah panic buying. Perilaku panic buying menurut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dipicu oleh factor psikologis yang biasanya terjadi karena informasi tidak sempurna atau tidak menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara pasif sebagai upaya penyelamatan diri. Terdapat dua bentuk kekhawatiran yang terjadi di masyarakat. Pertama adalah khawatir kalau tidak belanja sekarang, bisa saja besok harga barang naik. Kedua, jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada.
Panic Buying adalah sebuah fenomena yang terjadi selama krisis besar. Analisis perilaku pembelian selama krisis mengungkapkan beberapa hal temuan yang menarik. Pertama, beberapa pola permintaan terjadi secara alami dan dapat dibenarkan ketika mereka melakukan tindakan spontan yang bertujuan untuk mencegah atau melindungi diri dari penyakit. Kedua, Intervensi media memang membantu individu untuk melakukan akses informasi yang akurat dan bermanfaat, terutama dalam situasi bencana. Namun, media juga dapat menyebarkan informasi yang salah dan secara tidak sengaja orang-orang melakukan tindakan yang tidak perlu meskipun niatnya untuk menyebarkan informasi yang akurat. 
Perilaku irasional yang timbul akibat panic buying dapat menyebabkan meroketnya harga produk dan juga menyebabkan semakin banyaknya sampah rumah tangga. Alhasil, dapat memperburuk dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. Demikian pula, panic buying biasanya dipimpin oleh kelas atas dan menengah karena kapasitas mereka untuk melakukannya, kelas berpenghasilan rendah adalah kelompok yang tidak akan melakukan hal itu. Orang-orang di kelas ini umumnya kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk melakukan panic buying dan akibatnya ketinggalan barang-barang penting untuk kehidupan mereka. Kelompok lain yang mungkin terpengaruh oleh panic buying adalah petugas kesehatan garda terdepan karena mereka akan merasa sulit ketika bekerja karena kurangnya alat perlindungan diri. Hal ini akan semakin memperburuk konsekuensi kesehatan dan sosial selama pandemi. 
Perilaku menimbun adalah salah satu tindakan yang menonjol selama krisis Covid-19. Selama krisis corona virus terus berlangsung di seluruh dunia tanpa adanya vaksin, ketidakpastian, dan isolasi sosial akan muncul di benak orang. Hal ini mendorong pembelian panik dan perilaku menimbun. Penimbunan membutuhkan lebih banyak barang daripada yang biasa digunakan, sampai menghalangi fungsi rumah. Perilaku yang terlihat di tengah Covid-19 mungkin tidak "menimbun" dalam arti sebenarnya, mereka cenderung didorong oleh mekanisme psikologis yang sama. Perilaku menimbun menghasilkan ketidakmampuan individu yang dirasakan untuk mentolerir kesusahan, dan untuk menghindari kesusahan, mereka membeli lebih banyak produk daripada mereka dapat digunakan secara layak selama pandemic.
Pilihan atau keputusan konsumen merupakan masalah signifikan dalam perilaku konsumen. Mengenai pilihan, konsumen dihadapkan dengan ketidakpastian yang disebabkan oleh ketidakpastian akan masa depan (Taylor, dalam Wijaya, 2020). Taylor (dalam Wijaya, 2020) menyatakan bahwa ketidakpastian akan menyebabkan kegelisahan, begitu pula individu membutuhkan cara untuk mengurangi kecemasan melalui pengurangan risiko. Kecemasan juga terbentuk oleh harga diri dan kepercayaan diri individu. Setiap pilihan konsumen melibatkan dua aspek, yaitu ketidakpastian dalam hasil dan dampak. Ketidakpastian yang terkait dengan hasil dapat diminimalkan oleh informasi atau pengetahuan, sementara ketidakpastian dampak dapat dikurangi dengan mengurangi jumlah yang dipertaruhkan atau menunda pilihan. 
Aspek risiko adalah bagian dari perilaku panik pada konsumen (Fei et al., dalam Wijaya, 2020). Hessels et al., (dalam Wijaya, 2020) menyatakan bahwa ketakutan akan kegagalan dikaitkan dengan penghindaran risiko. Dalam kepanikan tertentu membeli adalah masalah umum di lingkungan yang bergerak cepat seperti saat ini, penyebabnya termasuk kondisi cuaca buruk, pemogokan, bencana alam, dan perubahan kebijakan pemerintah (Tsao et al., 2019). Peristiwa ini menimbulkan risiko bagi pilihan konsumen. Secara pribadi, risiko dapat digambarkan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu (Wildavsky & Dake, 1990). Pilihannya sangat ditentukan oleh manfaat dan persepsi risiko itu muncul. Sikap konsumen menentukan keduanya. Konsumen yang memiliki Sikap positif cenderung merasakan manfaat yang lebih tinggi, sedangkan konsumen yang memiliki sikap negatif akan memiliki persepsi risiko yang lebih tinggi (Slovic & Peters, 2006).
Ketika konsumen merasakan spesifik risiko, mereka cenderung mencari konfirmasi persepsi mereka (Slovic, 1987). Konsumen yang merasa risiko wabah akan mengambil spekulasi untuk bertindak untuk mengurangi tingkat risiko dirasakan melalui pembelian skala besar. Misalnya, risiko kekurangan makanan, jika ada karantina di daerah tersebut dan jika tidak ada peralatan kesehatan saat wabah. Aspek persepsi risiko juga terkait dengan pengetahuan. Konsumen yang punya pengetahuan tentang cara mengurangi risiko akan memiliki kemampuan untuk mengurangi kepanikan yang ada, menurut pendapat Taylor (dalam Wijaya, 2020) informasi mampu mengurangi hasil ketidakpastian. Kecemasan eksternal juga muncul sebagai akibat dari pengaruh luar. Individu menilai sesuatu jika mereka tidak memiliki informasi yang cukup akan menggunakan model lain sebagai sumber informasi.
Menurut Azjen (dalam Wijaya, 2020), konsep ini disebut norma subyektif yang merupakan faktor situasional yang mempengaruhi individu untuk berperilaku. Norma akan mengarah ke sikap dan tindakan yang cenderung homogen (Azjen, 2005), sehingga konsumen dalam kondisi yang tidak stabil memiliki kecenderungan untuk mengikuti perilaku orang-orang di sekitar mereka. Itulah kelompok referensi yang memiliki pengaruh kuat pada pilihan produk dan pilihan merek untuk konsumen dalam model perilaku konsumen adalah keluarga (Kotler, 2006; Engel et al, 2005). Anggota keluarga menjadi bagian dari pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan.
Panic buying (PB)/ peningkatan pembelian perilaku telah diamati selama keadaan darurat kesehatan masyarakat sejak zaman kuno. Persepsi kelangkaan (efek kelangkaan yang dirasakan) sangat terkait dengan kepanikan perilaku membeli dan perilaku menimbun yang meningkat sehingga terjadi kelangkaan. (Wilkens 2020; Dholakia 2020; Bonneux dan Van Damme 2006). Hal ini juga menciptakan perasaan tidak aman yang pada gilirannya mengaktifkan mekanisme lain untuk mengumpulkan barang-barang (Dholakia dalam Arafat, et al., 2020). Perasaan kehilangan kendali atas lingkungan dapat dianggap sebagai penyebabnya. Selama masa krisis, orang umumnya suka mengendalikan sesuatu dan mereka membawa beberapa aspek kepastian (Wilkens, dalam Arafat, et al., 2020).
Pembelian panik juga telah dikaitkan dengan perasaan tidak aman dan instabilitas yang dirasakan di situasi tertentu (Hendrix, dalam Arafat, et al., 2020). Status pandemi korona pada tahun 2020 meninggalkan komunitas dengan ketidakpastian. Orang-orang tidak yakin kapan bencana akan berakhir, sehingga menghemat kebutuhan dasar dan membeli sebanyak mungkin adalah jalan pintas untuk mengatasi perasaan tidak aman. Selanjutnya, gangguan pasokan, suatu kondisi dimana pasokan produk normal dalam rantai pasokan terganggu, telah diamati selama bencana atau bencana lain yang tidak diinginkan (Shou, at al., 2013). 
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan hal-hal serupa yang terjadi selama epidemi dan bencana alam lainnya di masa lalu. Persediaan dari obat-obatan dan vaksin dianggap sebagai metode persiapan dalam kasus pandemi (Jennings et al., 2008). Selama krisis, orang kadang percaya bahwa Pemerintah tidak akan dapat mengendalikan pemasaran gelap dan memberikan dukungan kepada warga negara. Kurangnya kepercayaan dan antisipasi kehabisan sumber daya mungkin bertanggung jawab atas kepanikan pembelian. Mereka tanpa pikir panjang meremehkan risiko bahaya dan meremehkan risiko kemungkinan bantuan (Bonneux dan Van Damme, 2006). Singkatnya, ketakutan akan kelangkaan dan kehilangan kendali atas lingkungan, ketidakamanan (yang bisa karena ketakutan), pembelajaran sosial, memperburuk kecemasan, respon primitif dasar manusia adalah faktor inti yang bertanggung jawab atas fenomena panic buying. 
Untuk mengantisipasi dan memitigasi terulangnya panic buying, maka diperlukan kejelasan informasi dari otoritas yang berwenang. Selain itu, informasi yang disajikan pemerintah, idealnya tidak tumpang tindih. Jelasnya informasi yang diterima oleh masyarakat dapat meredam tekanan psikologis masyarakat termasuk dari berbagai macam berita hoax. Langkah konkret lain yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membagikan masker secara gratis kepada masyarakat. Hal ini seperti yang pernah pemerintah RI lakukan saat mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan. Distribusi pembagian masker ini pun bisa dilakukan secara fleksibel, seperti di pusat keramaian umum, perkantoran, sekolah-sekolah, dan sebagainya dengan syarat menggunakan protocol kesehatan COVID-19.
Steven Taylor, Profesor sekaligus Psikolog Klinis di University of British Columbia, mengungkapkan, dalam kasus terjadinya bencana alam, terdapat perbedaan gagasan yang jelas antara persiapan untuk menghadapi bencana dan sekedar pembelian berlebih. Dalam kasus sebaran Virus Corona, ada banyak ketidakpastian yang mendorong terjadinya perilaku pembelian berlebih. Panic buying menurut Taylor didorong oleh kecemasan dan keinginan untuk berusaha keras menghentikan ketakutan tersebut. “Panic buying membantu orang merasa mengendalikan situasi. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang merasa perlu untuk melakukan sesuatu yang sebanding dengan apa yang mereka anggap sebagai tingkatan krisis.”
Panic buying tidak terjadi begitu saja, ada alasan ilmiah di balik timbulnya keinginan untuk memborong barang-barang dan makanan di tempat perbelanjaan. Panik adalah perpanjang dari cemas. Sementara cemas itu perpanjangan dari takut. Takut adalah keinginann untuk menghindari sesuatu yang ada saat ini. Jika ketakutan tersebut berdasarkan ketidakpastian di masa depan, maka akan terjadi kecemasan (Nurkholis, 2020). Ketika seseorang punya kecemasan, pada titik tertentu area prefrontal cortex pada otak tidak bisa bekerja. Prefrontal cortex adalah bagian otak yang memproses hal-hal yang rasional/ ketika area ini tidak bekerja karena kecemasan akan ketidakpastian, bagian yang bekerja adalah limbic system (system limbik), akibatnya rasa takut dan cemas jadi tidak bisa dikontrol. Jika hal itu terjadi, maka yang harus dilakukan adalah bernafas, ambil napas dalam-dalam, 10-20 hitungan, lalu keluarkan secara perlahan. Sehingga aliran darah menjadi lebih lancar dan oksigen bisa naik ke otak sehingga prefrontal cortex bisa berfungsi kembali, lalu individu bisa berpikir dengan jernih. 
Perilaku panic buying dan menimbun barang tidak diperbolehkan di dalam Islam, hal ini bertolak belakang dengan spirit etika bisnis dan nilai-nilai ekonomi islam. Karena, perbuatan tersebut telah mengancam dan merugikan sesama manusia. Orang yang menampilkan perilaku seperti itu disebut serakah, egois dan mementingkan diri sendiri. Contohnya, kondisi kelangkaan dan melonjaknya harga masker di berbagai wilayah, akibat keserakahan manusia yang memanfaatkan wabah Corona sebagai peluang bisnis.
Beberapa tips dalam mengatasi Panic buying menurut Dicky Palupessy, Wasekjen IABI (dalam Audina, 2020) adalah sebagai berikut: 
Belanja dengan cerdas/ smart buying
Maksudnya yaitu belilah keperluan yang memang sangat dibutuhkan dalam jumlah yang cukup untuk sekeluarga sesuai dengan kemampuan dan dalam waktu yang rasional, misalnya kwbutuhan untuk sekali seminggu.
Jangan langsung panik dengan pemberitaan di media
Pintarlah dalam memilih dan menyikapi pemberitaan oleh media, baik itu media elektronik maupun cetak. Tetap tenang dan cari informasi yang terpercaya dan valid.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arafat, S. Y., Kar, S. K., Marthoenis, M., Sharma, P., Apu, E. H., & Russel, K. (2020). Psychological underpinning of panic buying during pandemic (COVID-19). Elsevier, 2-4.

Ariyanti, Fiki. (23 Maret 2020). Panic Buying Akibat Corona, Belanja Sembako di Swalayan Dibatasi. Ini Daftarnyaǃ. Diakses pada tanggal 15 Juni 2020. Link: https://www.cermati.com

Audina, Nur Indah Farah. (22 Maret 2020). Tips Mengatasi Panic Buying dan Cara Cerdas dalam Berbelanja. Diakses pada tanggal 17 Juni 2020. Link: https://www.google.com 

Kuruppu, G. (2020). COVID-19 and Panic Buying: an Examination of the Impact of Behavioural Biases. SSRN, 1-6.

Ling, G. H., & Ho, C. M. (2020). Effects of the Coronavirus (COVID-19) Pandemic on Social Behaviours: From a Social Dilemma Perspective. Technium Social Sciences Journal, Vol. 7, 312-320, 312-314.

Mawandha, H. G. (2009). Cognitive Behavior Therapy and Anxiety Facing Medical Procedures in Children with Leukemia . Jurnal Intervensi Psikologi, Vol. 1, No. 1, 77-78.

Nurkholis. (2020). Dampak Pandemi Novel-Corona Virus Disiase (Covid-19) Terhadap Psikologi Dan Pendidikan Serta Kebijakan Pemerintah . Jurnal PGSD, Vol. 6, No. 1, 42-43.

Roy, D., Tripathy, S., Kar, S. K., Sharma, N., Verma, S. K., & Kaushal, V. (2020). Study of Knowlwdge, Attitude, Anxiety & Perceived Mental Healthcare Need in Indian Population During COVID-19 Pandemic. Asian Journal of Psychiatry, Vol. 51, 1-3.

Sanyata, S. (2012). Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling . Jurnal Paradigma, No. 14 , 3-6.

Shou, B., Xiong, H., & Shen, Z. M. (2013). Consumer Panic Buying and Quota Policy Under Supply Disruptions. Manufacturing & Service Operations Management, 1-5.

Wijaya, T. (2020). Factor Analysis Panic Buying During the COVID-19 Period in Indonesia. SSRN, 1-5.


#KKNIAINBATUSANGKAR2020
#KKNDRIAINBATUSANGKAR2020

LONELINESS (KESEPIAN)

A. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan terasing, tersisihkan, terpencil dari orang lain. Sering orang kesepian karena merasa berbed...